Monday, September 27, 2010

Champagne Girl (Part 4)

Sore itu aku dan teman-teman kantor janjian untuk minum di bar setelah pulang kantor. Aku sudah mendapatkan pinjaman mobil dari kantor. Sejak saat itu aku melarang Chris untuk menjemputku, dan secara otomatis intensitas pertemuan kami pun semakin jarang. Walaupun dia masih rajin telepon dan BBm aku. Tapi aku mulai berusaha menjauhkan diri dari Chris, aku tidak ingin semua menjadi terlambat karena sikap tidak tegasku terhadap Chris.

Kami melepas penat dengan sedikit minuman beralkohol, kebetulan besok weekend. Namun kali ini aku tidak salah minum, aku hanya memesan soda. Tidak boleh ada kejadian aku mabuk dan tidak terkendali. Aku melihat sosok pria berjalan masuk ke bar. Dia duduk membelakangi rombongan kami di meja bartender. Aku mengenal sosok itu, tampak seperti Andrew. Setelah kami selesai minum-minum, aku memberanikan diri mendekati sosok pria seperti Andrew itu, pamit ceritanya.

“Andrew,” panggilku.

Pria itu menengadah, masih dalam posisi yang sama dengan gelas-gelas di hadapannya. “Hei, Carly.”

Jadi benar itu Andrew, mabuk. Aku tidak pernah melihat Andrew mabuk. Yah memang tidak, pasti dia yang melihatku mabuk. Mengapa Andrew seperti ini? Masalah apa yang membuatnya begini?

“Kamu tidak mabuk lagi kan?” tanya Andrew sambil tersenyum.

“Aku rasa kamu yang lagi mabuk. Aku baru mau pamitan pulang.”

No, jangan.” Andrew menahanku dan memegang tanganku. “Temenin aku ngobrol, Carly. Aku rindu perbincangan kita yang dulu.”

Aku dapat merasakan pipiku mulai memanas akibat genggaman tangannya. Tangan yang besar dan badan yang kokoh. Namun jiwa yang sedang lelah. Aku pun tinggal di bar lebih lama untuk berbincang-bincang dengan Andrew. Andrew tetap menenggak minumannya, sedangkan aku masih meminum soda.

It’s Ally. Ally yang menjadi beban di pikiran Andrew saat ini. Andrew bercerita tentang sikap Ally yang mulai berubah dan bahwa pernikahan mereka terancam batal. Ternyata Andrew sangat mencintai Ally, nggak mungkin bagiku untuk berada di antara mereka. Sikap baik Andrew selama ini memang baik sebatas bos dan bawahannya saja. Andrew bicara melantur. Aku pun mengajaknya pulang dan memasukkan Andrew secara paksa ke dalam mobilku. Bahwa menyetir saja dia nggak mampu, gimana bisa aku biarkan dia pulang sendiri. Tubuhnya berat sekali. Kuarahkan mobilku ke apartement Andrew. Kupapah tubuhnya ke dalam lift. Andrew masih meracau soal Ally, sepanjang jalan sampai sekarang. Aku menghubungi Chris, akhirnya, memintanya menunggu di luar lift untuk menjemput Andrew. Andrew terjatuh. Aku berusaha memapahnya, memeluknya untuk menahannya berdiri. Tubuh kami menempel. Andrew menatapku, menggumamkan namaku, kemudian menggumamkan nama Ally, dan dalam sekejap menciumku. Ciuman ini dalam dan sedikit keras. Dia melumat bibirku, berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku tidak bisa menghindar. Tangannya memelukku dengan sangat kuat.

Pintu lift terbuka. Kulihat Chris berdiri menatap kami. Kujauhkan tubuh Andrew, berusaha melepaskan pelukannya. Masih tidak bisa. Chris menarik Andrew dengan paksa. Kemudian memapahnya ke kamar. Aku mengambil barang-barang Andrew yang terjatuh dan mengikuti ke kamar. Aku tidak bersuara, Chris juga tidak. Dan Andrew sudah resmi tertidur saat ini, gumamannya sudah berhenti. Kami keluar dari kamar tidur Andrew.

“Kamu nggak apa-apa?” Chris akhirnya memulai pembicaraan.

“Aku nggak apa-apa. Andrew yang kenapa-kenapa. Dia stress.”

“Kamu jatuh cinta sama dia?”

“Chris? Aku nggak... Aku nggak pernah jatuh cinta sama Andrew, aku cuma mengaguminya. That’s all.” Aku berusaha menjelaskan sesuatu. Ini aneh, aku tidak mau Chris berpikir aku menyukai Andrew.

“Terus kenapa selama ini kamu nggak pernah mau ketemu Andrew? Dan bersikap aneh di hadapannya.”

“Chris, aku nggak mau bicarain tentang itu.”

You promise.”

Aku tidak bisa mengelak, kali ini kujawab pertanyaan Chris. Kuceritakan semua yang kuingat tentang malam di Bali itu. Ciuman itu. Ciuman pertamaku dengan bosku, yang ternyata sangat mencintai tunangannya. Serta alasanku untuk mengakhiri karir di Maxcom Enterprise.

That’s why i cant meet him. Or meet you.” kataku mengakhiri.

Chris tertawa terbahak-bahak. Aku mengamati keanehannya. Kemudian dia masuk ke dalam kamar dan memintaku mengikutinya. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya. Itu syal, syalku, yang aku cari kemana-mana.

“Nih, kayaknya ini punyamu.” Chris memberikan syal itu padaku.

“Kenapa bisa ada di kamu?” aku masih menatap Chris bertanya-tanya.

“Jelas kan, kamu ninggalin syalmu di mobilku. Waktu kamu mabuk itu.”

“Tapi kamu nggak pernah bilang sebelumnya!” wajahku memerah, malu. Jadi Chris juga melihatku mabuk. Jadi dia tahu aku sudah mencium kakaknya. “Terus buat apa kamu pura-pura nggak tahu atas apa yang terjadi sama aku dan Andrew di Bali?!”

Chris diam sejenak. “Sebenarnya aku pengen kamu tahu sendiri Carly, tapi kayaknya nggak ada gunanya lagi nutup-nutupin sekarang. Aku nggak mau kamu ngejauhin aku gara-gara Andrew.” Chris menggenggam tanganku. Aku menariknya cepat. Chris menggenggam lagi. Kencang. Sudah mengantisipasi apabila aku menariknya lagi. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Chris menatapku dalam dan mengambil ancang-ancang untuk menciumku. Aku tidak kuasa menghindar, seakan aku sudah terpaku pada daya tariknya. Aku memejamkan mataku dan mengikuti kemana bibirnya menuntunku. Ciuman itu hangat dan penuh hasrat. Aku membalas seluruh lumatannya. Chris memeluk tubuhku kencang. Chris menarikku ke ranjangnya, dan posisi kami masih sama, masih berciuman dengan irama.

Stop. Stop it.” Akhirnya aku berhasil menguasai diri, kembali ke dunia nyata. Ciuman itu membuat seluruh wajahku panas, jantungku berdegup kencang, dan perutku bergejolak.

Chris memandangku tersenyum. Badannya masih berada di atasku. “Do you remember something?” tanyanya penuh senyum kemenangan. Aku masih menatapnya. Dia mulai menciumiku lagi, dan aku, membalas ciumannya lagi. Oh Tuhan, kapan kami bisa bicara.

“Oke, Chris. Cukup.” kali ini aku benar-benar mendorong tubuh Chris dan aku menjauhkan diri dari dekapan Chris. “This is serious. Inget apa? Aku nggak inget apa-apa!”

“Carly, kamu nih lambat banget sih. Masa aku harus nawarin bibirku buat kamu cium lagi?” Chris masih tertawa senang.

I’m serious. You have to tell me right now!” aku mulai tidak sabar, tapi masih berusaha mengingat-ingat apa yang aku tidak ingat. Tapi nihil, aku tidak berhasil mengingat apapun.

“Carly, kamu nggak pernah mencium Andrew. Oke pernah, tadi di lift. Coba Andrew nggak mabuk, udah aku pukul dia.”

“Jangan ngalihin pembicaraan. Terus siapa yang aku cium? Kamu?”

Chris tersenyum kembali. Oke, kayaknya pertanyaanku barusan tepat sasaran. Chris menaikkan alisnya, masih tersenyum kepadaku.

“Chris? Was it? With you?”

Yes. It was me. And after that, my whole life was full of you.”

Aku mau marah, tapi tidak bisa. Jadi selama ini semuanya masih kebodohanku. Selama ini Andrew nggak pernah mengatakan apapun karena memang gak terjadi apa-apa di antara kita malam itu.

“Waktu itu, kamu membalas ciumanku ya?” tanyaku malu.

“Uhuh, just like this.” Chris mencium aku lagi. Kali ini aku membiarkannya bergerilya. Bibir hangat Chris menyapu bibirku. “Jangan sampai kamu mabuk lagi ya, Carly.” katanya di sela-sela ciuman panas kami. Kami pun tertawa. Semuanya terasa masuk akal, perhatian Chris dan pengejarannya selama ini ternyata memang dimulai dari malam itu. Malam tak terlupakan akibat champagne. ©

________________________________________________

xoxo,

No comments: