Sunday, September 26, 2010

Champagne Girl (Part 2)

Aku mulai bersikap aneh di depan Pak Andrew. Aku tidak nyaman dengan semuanya. Aku merasa malu dan bodoh. Aku harus mengambil tindakan. Aku tidak bisa seperti ini terus. Walaupun Pak Andrew tidak pernah membahasnya juga, tapi mungkin juga ini untuk menjaga hubungan kami. Aku sudah mengambil keputusan, aku akan mengundurkan diri. Pak Andrew mempertanyakan pengunduran diriku yang tiba-tiba itu, tentu saja aku sudah memikirkan jawaban dari alasan pengunduruan diriku ini sebelumnya. Semua sudah kuatur. Aku berkata bahwa aku ingin mencoba kesempatan lain dan belajar di bidang lain. Pak Andrew mengatakan bahwa dia bisa menaikkan posisiku, asal aku tidak keluar dari perusahaan. Dia benar-benar menahan diriku di perusahaan. Tapi tidak bisa, keputusanku sudah bulat. Aku akan keluar.

Aku masuk ke perusahaan manufaktur dan menjadi seorang advertising manager. Masih berhubungan dengan advertising dan memang tidak bisa jauh-jauh dari Pak Andrew. Percayakah kalau di perusahaan ini aku bertemu dengan sepupu Pak Andrew? Teman sekantorku, yang bahkan duduknya di depan mejaku persis. Thank God she is a woman. Lauren adalah pribadi yang sangat hangat dan menarik. Umurnya setahun lebih tua dari aku, tapi kami sangat mirip dalam beberapa hal. Kami langsung menjadi akrab hanya dalam hitungan minggu semenjak aku bekerja di sini.

Nah, kalian pasti bertanya-tanya kan jawaban apa yang aku berikan sebagai alasanku meninggalkan Maxcom. Masih menggunakan jurus bicara Pak Andrew, aku meyakinkan perusahaan ini kalau aku ingin lebih mendalami soal advertising bukan hanya sebagai marketing dari perusahaan advertising saja. Aku ingin terjun langsung ke dalam prosesnya dari awal sampai akhir. Aku percaya semua ilmuku di Maxcom akan sangat bermanfaat. Voila! They liked me so much. Apalagi aku jebolan dari Maxcom Enterprise dan mantan didikan dari Pak Andrew Bintoro. Hell to the yeah!

Teleponku bergetar-getar. Aku terbangun. Oh, Lauren.

“Carly! Pasti kamu belum bangun!” teriaknya di telepon. Tidak ada kata-kata dariku, hanya menggumam. “Hey! Wake up! I’ll pick you in an hour!” teriaknya sekali lagi.

Are you crazy?! What time is it?!” teriakku gak kalah heboh. Aku paling benci ketika hari Sabtuku yang sangat berharga diganggu oleh telepon-telepon di pagi hari. I really need sleep.

“This is 11 o’clock for God’s sake! And you promised to accompany me to Barry’s Closet!” Aku terkesiap dan terbangun dalam sekejap. Masih mengerjap-ngerjap dan menggosok-gosok mata. “Carly!!” Lauren berteriak lagi.

“Oke, oke. Lauren, I hear you, honey. Sekarang tutup teleponnya, aku siap-siap dulu, oke? Muach..” Kututup telepon sebelum mendengar Lauren berkicau lebih kencang lagi.

Tampaknya semalam aku bermimpi lagi. Soal ciuman itu. Dalam mimpi ini aku melihat Andrew membalas ciumanku, dia melumat bibirku dengan lembut. Mimpi yang membawaku terbang ke awan, namun menjatuhkanku dengan sangat keras di dunia nyata.

Kami meluncur ke Barry’s Closet, toko kebaya tempat desainer bernama Barry. Barry orang Indonesia yang sekolah mode di Perancis. Of course, a gay. Lauren mencoba kebaya-kebaya itu dan meminta pendapatku. Dia membutuhkan kebaya itu untuk acara pertunangannya dengan Ron, pacar tujuh tahunnya. Hebat. Rekor pacaranku aja baru satu setengah tahun, apa yang mereka lakukan selama tujuh tahun?! Semua kebaya tampak cantik dikenakan Lauren, tapi pilihanku jatuh pada kebaya berwarna salem dengan potongan dada rendah dan cutting yang sempurna untuk bentuk tubuh Lauren. Lauren menyetujui saranku dan dia melakukan fitting untuk kebaya itu. Setelah itu kami meluncur ke mal untuk makan siang sekaligus janjian bertemu Ron. Ron berprofesi sebagai seorang dokter yang umurnya setahun lebih tua dari Lauren. Ia berpenampilan lebih tua daripada yang seharusnya. Tapi tampak sangat serasi dengan Lauren.

“Hey, Chris!” Lauren memeluk pria di hadapannya. “Carly, this is Chris. Chris, Carly.”

“Hello,” kataku menjabat tangan Chris. Wajah yang tidak asing. “Have we ever met before?” tanyaku.

“Yep, di Bali. Aku adiknya Andrew.”

Oh, jangan Andrew lagi please. Lauren melihat perubahan pada wajahku dan mengedipkan matanya padaku. Yeah, she knows about everything, the trip, the kiss, everything. Chris tampak lebih tampan dari terakhir kali aku melihatnya. Penampilannya kali ini lebih santai. Ternyata dia masih kuliah tingkat akhir dan sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Dan tinggal di apartemen yang sama dengan Andrew, kamar yang sama. Chris orang yang sangat energik dan supel, mudah mencairkan suasana. Tidak ada masalah ketika harus berbicara atau jalan dengan orang-orang dengan usia yang lebih tua darinya. Chris meminta pin Blackberry Messenger-ku dan nomor ponselku. Dia sedang mendekatiku atau aku cuma kege-eran? Karena pendekatan langsungnya di hari pertama dia bertemu denganku ini benar-benar sangat kentara.

Setiap aku pergi dengan Lauren, selalu ada Chris. He’s like stalking me or something. Dia juga selalu BBM dan telepon aku, sampai aku agak capek menanggepinya. Well, Chris memang sangat asyik diajak bicara, cuma aku jadi sedikit mempertanyakan motifnya mendekatiku.

Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Hampir setiap hari aku terjebak di kantor sampai jam 6. Kantor masih belum memberikanku mobil karena umur kerjaku yang masih baru. Aku terpaksa selalu merepotkan Lauren karena arah rumahnya melewati apartemenku. Tapi hari ini aku agak lebih lembur dari biasanya dan tidak mungkin aku membiarkan Lauren menungguku. Aku pun menyuruhnya untuk pulang duluan. Kantor sudah sangat sepi, tinggal beberapa office boy dan security yang berjaga. Aku keluar dari lift dan berjalan ke pintu utama. Dan yang kulihat adalah sosok Chris yang sedang bersandar di pilar. Aku menganga dan dia tertawa melihatku.

What the hell are you doing here?!” tanyaku kaget. Jujur saja aku kaget melihat sosoknya di depanku. Di kantorku. Oke, jadi setelah dia mengikutiku pergi setiap weekend, sekarang dia mulai berani merambah ke kantorku.

I’m picking you up, Carly. Lauren bilang kamu lembur dan gak akan ada yang nganter kamu pulang. So yeah, here I am.”

“But i didn’t tell her to do that!” Aku akan mencekik Lauren, kataku dalam hati. “And you don’t need to do this, Chris,” lanjutku kembali, berusaha memusatkan perhatian.

Aku memaksa,” kata Chris tegas.

Aku berpikir, dan menimbang-nimbang. “Well, okay,” kataku akhirnya. Aku melihat Chris tertawa lega. “Can we eat first? I’m starving.”

“Everything, Carly.” Chris meraih pundakku dan membimbingku berjalan menuju mobilnya.

Sejak hari itu, Chris selalu menampakkan diri di kantor setiap malam. Dia tahu jadwal pulang kantorku dan setiap aku keluar dari pintu utama, selalu sudah ada sosoknya berdiri di hadapanku. Yeah, it’s Lauren. I’ll kill her.

_______________________________________________

xoxo,

No comments: