Showing posts with label Short story. Show all posts
Showing posts with label Short story. Show all posts

Thursday, October 7, 2010

Jangan “NGAMBEK” Berkepanjangan

In the middle of my insomnia last night, a friend gave me a link, great and touching story, made me cry a lot. Cant wait to share with you all :)

Ini adalah cerita sebenarnya (diceritakan oleh Lu Di dan di edit oleh Lian Shu Xiang)

Sebuah salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga. Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat. Membawa nenek utk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah menghianati ikrar cinta yg telah kami buat selama ini, setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di kampung utk tinggal bersama.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.

Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri didepan kamar yg sangat kaya dgn sinar matahari, tidak sepatah katapun yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata : “Mari,kita jemput nenek di kampung”.

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

Kebiasaan nenek di kampung  tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suami : “Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?” Aku menjelaskannya kepada nenek : “Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira. “Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa : “Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga.”

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata : “Putriku, kan kamu bisa berbohong.Jangan katakan harga yang sebenarnya.” Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya ; dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masukke kamar sambil membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah. “Apa salahku?” Dia melotot sambil berkata : “Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan pring itu bisa membuatmu mati?”

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup lama, suasana mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata : “Lu di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?” sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata : “Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi. “Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yg tajam, diluar sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!

Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh……suamiku segera mengejarnya keluar rumah.

Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga  meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata : “Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter. “Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yg terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi…..mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yg penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya. Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dgn wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya. Di kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yg melihatku dengan wajah bingung. “Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg terbujur kaku. Sambil menangis aku menjerit dalam hati : “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”

Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian. Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu,jika kami tidak bertengkar, jika…………dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak jangtungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian. Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak…mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi………, semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya : “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya”. Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar. Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. “Lu di, kamu hamil?” Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg menglir keluar dengan derasnya. Aku menjawab : “Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi”. Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badanya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata : “Maafkan aku, maafkan aku”. Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa…….., itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yg mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?

Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya………aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi perduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara…………Sebuah surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yg ditujukan kepada anak kami. “Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.

“Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun -tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah orang yg paling ayah cintai”.

Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. “Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yg paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannyapada anak kita. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya”.

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata : “Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”. Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum…………..anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tanganya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata………………..

Teman-teman terkasih, aku sharing cerita ini kepada kalian, agar kita semua bisa menyimak pesan dari cerita ini. Mungkin saat ini air mata kalian sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah pesan dari cerita ini : “Jika ada sesuatu yg mengganjal di hati diantara kalian yg saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam hati. Siapa tau apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan : Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yg telah kita perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan? Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.

 

xoxo,

Monday, September 27, 2010

Champagne Girl (Part 4)

Sore itu aku dan teman-teman kantor janjian untuk minum di bar setelah pulang kantor. Aku sudah mendapatkan pinjaman mobil dari kantor. Sejak saat itu aku melarang Chris untuk menjemputku, dan secara otomatis intensitas pertemuan kami pun semakin jarang. Walaupun dia masih rajin telepon dan BBm aku. Tapi aku mulai berusaha menjauhkan diri dari Chris, aku tidak ingin semua menjadi terlambat karena sikap tidak tegasku terhadap Chris.

Kami melepas penat dengan sedikit minuman beralkohol, kebetulan besok weekend. Namun kali ini aku tidak salah minum, aku hanya memesan soda. Tidak boleh ada kejadian aku mabuk dan tidak terkendali. Aku melihat sosok pria berjalan masuk ke bar. Dia duduk membelakangi rombongan kami di meja bartender. Aku mengenal sosok itu, tampak seperti Andrew. Setelah kami selesai minum-minum, aku memberanikan diri mendekati sosok pria seperti Andrew itu, pamit ceritanya.

“Andrew,” panggilku.

Pria itu menengadah, masih dalam posisi yang sama dengan gelas-gelas di hadapannya. “Hei, Carly.”

Jadi benar itu Andrew, mabuk. Aku tidak pernah melihat Andrew mabuk. Yah memang tidak, pasti dia yang melihatku mabuk. Mengapa Andrew seperti ini? Masalah apa yang membuatnya begini?

“Kamu tidak mabuk lagi kan?” tanya Andrew sambil tersenyum.

“Aku rasa kamu yang lagi mabuk. Aku baru mau pamitan pulang.”

No, jangan.” Andrew menahanku dan memegang tanganku. “Temenin aku ngobrol, Carly. Aku rindu perbincangan kita yang dulu.”

Aku dapat merasakan pipiku mulai memanas akibat genggaman tangannya. Tangan yang besar dan badan yang kokoh. Namun jiwa yang sedang lelah. Aku pun tinggal di bar lebih lama untuk berbincang-bincang dengan Andrew. Andrew tetap menenggak minumannya, sedangkan aku masih meminum soda.

It’s Ally. Ally yang menjadi beban di pikiran Andrew saat ini. Andrew bercerita tentang sikap Ally yang mulai berubah dan bahwa pernikahan mereka terancam batal. Ternyata Andrew sangat mencintai Ally, nggak mungkin bagiku untuk berada di antara mereka. Sikap baik Andrew selama ini memang baik sebatas bos dan bawahannya saja. Andrew bicara melantur. Aku pun mengajaknya pulang dan memasukkan Andrew secara paksa ke dalam mobilku. Bahwa menyetir saja dia nggak mampu, gimana bisa aku biarkan dia pulang sendiri. Tubuhnya berat sekali. Kuarahkan mobilku ke apartement Andrew. Kupapah tubuhnya ke dalam lift. Andrew masih meracau soal Ally, sepanjang jalan sampai sekarang. Aku menghubungi Chris, akhirnya, memintanya menunggu di luar lift untuk menjemput Andrew. Andrew terjatuh. Aku berusaha memapahnya, memeluknya untuk menahannya berdiri. Tubuh kami menempel. Andrew menatapku, menggumamkan namaku, kemudian menggumamkan nama Ally, dan dalam sekejap menciumku. Ciuman ini dalam dan sedikit keras. Dia melumat bibirku, berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku tidak bisa menghindar. Tangannya memelukku dengan sangat kuat.

Pintu lift terbuka. Kulihat Chris berdiri menatap kami. Kujauhkan tubuh Andrew, berusaha melepaskan pelukannya. Masih tidak bisa. Chris menarik Andrew dengan paksa. Kemudian memapahnya ke kamar. Aku mengambil barang-barang Andrew yang terjatuh dan mengikuti ke kamar. Aku tidak bersuara, Chris juga tidak. Dan Andrew sudah resmi tertidur saat ini, gumamannya sudah berhenti. Kami keluar dari kamar tidur Andrew.

“Kamu nggak apa-apa?” Chris akhirnya memulai pembicaraan.

“Aku nggak apa-apa. Andrew yang kenapa-kenapa. Dia stress.”

“Kamu jatuh cinta sama dia?”

“Chris? Aku nggak... Aku nggak pernah jatuh cinta sama Andrew, aku cuma mengaguminya. That’s all.” Aku berusaha menjelaskan sesuatu. Ini aneh, aku tidak mau Chris berpikir aku menyukai Andrew.

“Terus kenapa selama ini kamu nggak pernah mau ketemu Andrew? Dan bersikap aneh di hadapannya.”

“Chris, aku nggak mau bicarain tentang itu.”

You promise.”

Aku tidak bisa mengelak, kali ini kujawab pertanyaan Chris. Kuceritakan semua yang kuingat tentang malam di Bali itu. Ciuman itu. Ciuman pertamaku dengan bosku, yang ternyata sangat mencintai tunangannya. Serta alasanku untuk mengakhiri karir di Maxcom Enterprise.

That’s why i cant meet him. Or meet you.” kataku mengakhiri.

Chris tertawa terbahak-bahak. Aku mengamati keanehannya. Kemudian dia masuk ke dalam kamar dan memintaku mengikutinya. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya. Itu syal, syalku, yang aku cari kemana-mana.

“Nih, kayaknya ini punyamu.” Chris memberikan syal itu padaku.

“Kenapa bisa ada di kamu?” aku masih menatap Chris bertanya-tanya.

“Jelas kan, kamu ninggalin syalmu di mobilku. Waktu kamu mabuk itu.”

“Tapi kamu nggak pernah bilang sebelumnya!” wajahku memerah, malu. Jadi Chris juga melihatku mabuk. Jadi dia tahu aku sudah mencium kakaknya. “Terus buat apa kamu pura-pura nggak tahu atas apa yang terjadi sama aku dan Andrew di Bali?!”

Chris diam sejenak. “Sebenarnya aku pengen kamu tahu sendiri Carly, tapi kayaknya nggak ada gunanya lagi nutup-nutupin sekarang. Aku nggak mau kamu ngejauhin aku gara-gara Andrew.” Chris menggenggam tanganku. Aku menariknya cepat. Chris menggenggam lagi. Kencang. Sudah mengantisipasi apabila aku menariknya lagi. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Chris menatapku dalam dan mengambil ancang-ancang untuk menciumku. Aku tidak kuasa menghindar, seakan aku sudah terpaku pada daya tariknya. Aku memejamkan mataku dan mengikuti kemana bibirnya menuntunku. Ciuman itu hangat dan penuh hasrat. Aku membalas seluruh lumatannya. Chris memeluk tubuhku kencang. Chris menarikku ke ranjangnya, dan posisi kami masih sama, masih berciuman dengan irama.

Stop. Stop it.” Akhirnya aku berhasil menguasai diri, kembali ke dunia nyata. Ciuman itu membuat seluruh wajahku panas, jantungku berdegup kencang, dan perutku bergejolak.

Chris memandangku tersenyum. Badannya masih berada di atasku. “Do you remember something?” tanyanya penuh senyum kemenangan. Aku masih menatapnya. Dia mulai menciumiku lagi, dan aku, membalas ciumannya lagi. Oh Tuhan, kapan kami bisa bicara.

“Oke, Chris. Cukup.” kali ini aku benar-benar mendorong tubuh Chris dan aku menjauhkan diri dari dekapan Chris. “This is serious. Inget apa? Aku nggak inget apa-apa!”

“Carly, kamu nih lambat banget sih. Masa aku harus nawarin bibirku buat kamu cium lagi?” Chris masih tertawa senang.

I’m serious. You have to tell me right now!” aku mulai tidak sabar, tapi masih berusaha mengingat-ingat apa yang aku tidak ingat. Tapi nihil, aku tidak berhasil mengingat apapun.

“Carly, kamu nggak pernah mencium Andrew. Oke pernah, tadi di lift. Coba Andrew nggak mabuk, udah aku pukul dia.”

“Jangan ngalihin pembicaraan. Terus siapa yang aku cium? Kamu?”

Chris tersenyum kembali. Oke, kayaknya pertanyaanku barusan tepat sasaran. Chris menaikkan alisnya, masih tersenyum kepadaku.

“Chris? Was it? With you?”

Yes. It was me. And after that, my whole life was full of you.”

Aku mau marah, tapi tidak bisa. Jadi selama ini semuanya masih kebodohanku. Selama ini Andrew nggak pernah mengatakan apapun karena memang gak terjadi apa-apa di antara kita malam itu.

“Waktu itu, kamu membalas ciumanku ya?” tanyaku malu.

“Uhuh, just like this.” Chris mencium aku lagi. Kali ini aku membiarkannya bergerilya. Bibir hangat Chris menyapu bibirku. “Jangan sampai kamu mabuk lagi ya, Carly.” katanya di sela-sela ciuman panas kami. Kami pun tertawa. Semuanya terasa masuk akal, perhatian Chris dan pengejarannya selama ini ternyata memang dimulai dari malam itu. Malam tak terlupakan akibat champagne. ©

________________________________________________

xoxo,

Sunday, September 26, 2010

Champagne Girl (Part 3)

Hampir jam makan siang. Aku berbisik-bisik dengan Lauren yang duduk di hadapanku. “We need to talk. There’s something weird. And it will be me and you only this time, okay?” Kami makan siang dan bercakap-cakap seputar satu topik, Chris. Of course, who else?!

Are you tired of taking me home, Lau?”

What? No, of course not.” Lauren tertawa. Dia pikir aku lagi bercanda ya.

“Terus kenapa setiap hari harus Chris yang ada di sana?!” Lauren masih tertawa lagi dan kali ini lebih kencang. ”Hah! I know it was you!” Aku menendang kaki Lauren di bawah meja makan. Kali ini dia memaksakan diri untuk berhenti tertawa.

Sorry, honey. It’s just Chris’s request.”

“Yeah, but why?! Kenapa dia harus melakukan hal seperti itu sama aku? Kenapa dia nggak berhenti ngejar aku? And now picking me up everyday? It’s just too much, Lau.”

“He likes you. Simple.” Lauren tersenyum dan kali ini lebih serius. “Carly, aku kenal Chris sangat baik. He’s a good guy. You’ll like him too.”

“I like him. But hell no I will love him. He’s way younger than me!”

Lauren tertawa lagi. “Tapi kelakuannya gentle banget kan, admit it. Paling nggak dia tidak kekanak-kanakan sedikitpun dan sangat bertanggung jawab.”

“Tapi aku nggak bisa berhubungan sama orang yang berhubungan dekat sama Andrew. Nggak mungkin aku menampakkan diri di hadapannya.”

Oh, forget it. He never talked about it. Maybe he didn’t remember anything.”

“I wish.”

“I’m serious. I tell you, selama ini semuanya adalah permintaan Chris. Dia memohon sama aku untuk ngasih tahu detail tentang kamu, Carl. Aku nggak bisa nolak. Yeah, I’m helping him to get you.”

“Sinting.”

“Pertimbangin lah, Carl. Gak ada yang salah dengan umurnya. Cuma beda dua tahun juga kan sama kamu. Not a big deal lah.”

Aku keluar ke pintu utama. Kosong. Tidak ada seringaian wajah Chris yang menungguku. Tidak pernah terjadi sebelumnya dan dia juga tidak mengabariku apapun. No calls, no BBM. Aku mengetik pesan singkat untuknya tapi tidak ada tanda pesan itu terbaca. Lauren menawarkan diri mengantarku pulang, tapi aku menolaknya.

“Chris, hallo?”

“Uhm, hei, Carly.” Chris menggumam di seberang telepon. Suaranya tidak jelas.

“Chris, you hear me? Where are you?”

“Aku di rumah, Carly. I just had a lil’ accident.”

“What?! Are you okay?”

“Yeah, uhm i mean, i’m sleepy. Pengaruh obat bius tadi. Jadi aku ketiduran setelah pulang dari rumah sakit.” Chris terdiam. Aku juga terdiam. “Oh, crap!” Chris memekik. “I forgot to pick you! Carly, sorry.” Nadanya memohon.

Shut up, Chris! Think about yourself! I can ride a taxi! Idiot!” Aku marah dan menutup telepon. Tunggu, kenapa aku harus marah?

Aku mencegat taksi dan berjalan menuju apartemen. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keadaan Chris. Aneh, tapi aku cemas dengan kondisinya sekarang. Tanpa pikir panjang aku menyuruh taksi itu memutar arah ke apartemen Chris. Cukup jauh dari apartemenku. Semoga aku tidak bertemu Andrew.

Aku menekan bel di depan pintu kamar apartemen Chris. Cukup lama sampai akhirnya Chris membuka pintu. Tangan kirinya digips. Beberapa luka di dahi dan kakinya. Aku agak kaget melihat keadaannya. Ternyata cukup parah walaupun masih bisa berjalan.

“Carly?” Chris sama kagetnya melihatku. Kami saling menatap, “Masuklah” lanjutnya.

You okay?” Chris mengangguk. Dalam sekejap aku langsung memeluknya.

“Sorry, aku nggak bisa jemput kamu.”

Aku melepaskan pelukanku dan mulai meracau, “You idiot! Look at your condition! Kenapa yang kamu pikirin malah jemput aku sih?!” teriakku setengah marah.

Kali ini dia yang meraihku dan memelukku. “Aku nggak apa-apa. I’m good.” katanya sambil membelai-belai kepalaku. Aku memeluknya semakin erat. “Uhm, Carly, tanganku...”

Aku melepaskannya, “Ooops, sorry...” Kami pun tertawa bersama.

“Kamu butuh makan, Chris. Ada sesuatu disini atau kamu mau delivery?” tanyaku sambil membuka lemari-lemari di dapur.

“Cuma ada mie instan sama telur. Bikinin buat aku yah?”

Aku menghela nafas dan tersenyum kecil. “Oke, tapi bikinnya tiga bungkus yah? Buat berdua.” kataku meringis. Aku kelaparan juga.

Chris tertawa terbahak-bahak. “Everything, Carly. Aku suka selera makanmu.

Jadi Chris mengalami kecelakaan waktu mau berangkat ke kampus. Ngebut dengan motor balapnya, sungguh cerdas. Kepala agak terbentur, tangan kiri retak, dan kaki penuh luka. Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang. Percakapan ringan namun cerdas.

“Chris, udah malam. Aku harus balik.”

No, aku nggak akan membiarkan kamu pulang sendiri. Tunggu Andrew bentar lagi pulang, biar dia nganterin kamu.”

Aku terkejut. “Nggak bisa, aku harus pulang sekarang. Bye, Chris.” Aku meluncur keluar dari apartemen itu. Aku tidak bisa membayangkan bila aku harus bertemu Andrew. Aku mencari cara supaya aku tidak bertemu Andrew. Aku menjauhi pintu utama masuk ke kawasan apartemen. Berjalan sejauh mungkin sampai akhirnya menemukan taksi. Aku pulang, kelelahan. Lelah karena pikiran. Pikiran pertemuan dengan Andrew kembali.

Ponselku berbunyi singkat, nada BBM. Pesan dari Chris.

Thanks for today :)

Kubalas pesan singkat itu.

Your welcome. Take care. Dont forget to take your medicines.

BBm kembali berbunyi.

Yes, ma’am. Hati-hati Carly. Good night. I’m full with your noodles and ...

And??? Aku membalas pesan itu, singkat.

Your presence.

Aku tidak membalas pesan itu lagi. Tapi seharusnya Chris tahu kalau aku sudah membaca balasannya. Sepertinya aku sudah melakukan hal di luar kendali dengan datang ke apartemennya, dan memeluknya. Dua kali! Tunggu, sekali, yang kedua itu kan dia yang memelukku! Dasar Chris, mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Bel pintu apartemenku berbunyi. Berkali-kali. Kubuka pintu dan kulihat Chris berdiri di ambang pintu. Tampan dengan setelan jasnya.

I told you to come at 11, dude.”

“Yeah, but I don’t wanna be late. And I just can’t wait to see you.” Chris menjawab ringan, sambil tersenyum.

“Diam di sini dan biarkan aku bersiap-siap. Make yourself like home.”

Jadi kali ini aku mengenakan gaun berwarna cream yang jatuh di atas lutut, dengan potongan dada agak rendah, dan sentuhan perhiasan di atasnya. Cantik. Kubiarkan rambut panjangku terurai lurus. Kukenakan makeup tipis dan lipstick berwarna nude.

I’m ready. Let’s go!”

Chris terpana menatapku. “Wow, beautiful, as usual.”

Kami tiba di Quarkey Restaurant, tempat acara pertunangan ini diadakan. Tidak terlalu banyak tamu, sepertinya memang hanya dikhususkan bagi keluarga dan teman-teman dekat. Aku memeluk Lauren dan mengecup pipinya. Kemudian Ron, memeluknya. Kemudian di sebelah Ron kulihat ada Andrew. Aku kaget, begitu pula dirinya. Andrew sendiri. Tidak ada Ally di sekitarnya. Kulihat berkeliling dan tidak ada Ally dimanapun. Andrew tampak menggoda, seperti biasa. Setelan jas rapinya tetap menempel pada badan tegapnya, pria yang sempurna.

“Carl, aku ambilin minum yah?” suara Chris membuyarkan seluruh lamunanku.

Kualihkan tatapan dari wajah Andrew. Sepertinya semua orang sadar bahwa aku dan Andrew saling bertatapan tanpa suara, lama. Akhirnya setelah dapat menguasai diri, aku pergi ke tempat minuman bersama Chris.

“Udah berapa lama kamu nggak ketemu Andrew?” tanya Chris memulai pembicaraan.

“Lama, sejak aku keluar dari Maxcom.”

“Kenapa kamu selalu menghindar dari Andrew sih?”

You know Chris, i don’t want to talk about it now.”

Aku melihat Andrew berjalan ke arah kami, masih sendiri. Aku meyakinkan diri untuk tidak tampak bodoh di hadapannya. Dan tidak salah bicara.

“Carly, you look great.”

“Thanks. You too, Andrew. Uhm, maksudku Pak.”

Andrew tertawa. Masih dengan senyumnya yang super memikat itu. Dan setiap kali kulihat bibirnya, yang kuingat adalah seluruh kejadian memalukan di malam itu. “Jangan panggil Pak. I’m not your boss anymore.”

Aku tersenyum. Berarti aku boleh menjalin hubungan dengannya dong, secara dia bukan lagi bosku. Ah, pikiran bodoh apa lagi ini?

“Jadi, Chris udah berhasil mendapatkanmu?” tanya Andrew tiba-tiba.

Aku menatap Chris, tajam. Kutatap Andrew dan kulihat wajahnya menunggu jawabanku.

Shut up, Drew.” Chris menyenggol lengan Andrew.

Mereka saling tertawa dan mulai melempar cela-celaan. Aku ikut tertawa namun pikiranku sedang menelaah arti perkataan Andrew. Jadi, Andrew selama ini tahu kalau Chris mengejarku. Aku pasti tampak sangat memalukan di depan Andrew, setelah menciumnya aku jalan dengan adiknya. Ini tidak boleh terjadi.

________________________________________________

xoxo,

Champagne Girl (Part 2)

Aku mulai bersikap aneh di depan Pak Andrew. Aku tidak nyaman dengan semuanya. Aku merasa malu dan bodoh. Aku harus mengambil tindakan. Aku tidak bisa seperti ini terus. Walaupun Pak Andrew tidak pernah membahasnya juga, tapi mungkin juga ini untuk menjaga hubungan kami. Aku sudah mengambil keputusan, aku akan mengundurkan diri. Pak Andrew mempertanyakan pengunduran diriku yang tiba-tiba itu, tentu saja aku sudah memikirkan jawaban dari alasan pengunduruan diriku ini sebelumnya. Semua sudah kuatur. Aku berkata bahwa aku ingin mencoba kesempatan lain dan belajar di bidang lain. Pak Andrew mengatakan bahwa dia bisa menaikkan posisiku, asal aku tidak keluar dari perusahaan. Dia benar-benar menahan diriku di perusahaan. Tapi tidak bisa, keputusanku sudah bulat. Aku akan keluar.

Aku masuk ke perusahaan manufaktur dan menjadi seorang advertising manager. Masih berhubungan dengan advertising dan memang tidak bisa jauh-jauh dari Pak Andrew. Percayakah kalau di perusahaan ini aku bertemu dengan sepupu Pak Andrew? Teman sekantorku, yang bahkan duduknya di depan mejaku persis. Thank God she is a woman. Lauren adalah pribadi yang sangat hangat dan menarik. Umurnya setahun lebih tua dari aku, tapi kami sangat mirip dalam beberapa hal. Kami langsung menjadi akrab hanya dalam hitungan minggu semenjak aku bekerja di sini.

Nah, kalian pasti bertanya-tanya kan jawaban apa yang aku berikan sebagai alasanku meninggalkan Maxcom. Masih menggunakan jurus bicara Pak Andrew, aku meyakinkan perusahaan ini kalau aku ingin lebih mendalami soal advertising bukan hanya sebagai marketing dari perusahaan advertising saja. Aku ingin terjun langsung ke dalam prosesnya dari awal sampai akhir. Aku percaya semua ilmuku di Maxcom akan sangat bermanfaat. Voila! They liked me so much. Apalagi aku jebolan dari Maxcom Enterprise dan mantan didikan dari Pak Andrew Bintoro. Hell to the yeah!

Teleponku bergetar-getar. Aku terbangun. Oh, Lauren.

“Carly! Pasti kamu belum bangun!” teriaknya di telepon. Tidak ada kata-kata dariku, hanya menggumam. “Hey! Wake up! I’ll pick you in an hour!” teriaknya sekali lagi.

Are you crazy?! What time is it?!” teriakku gak kalah heboh. Aku paling benci ketika hari Sabtuku yang sangat berharga diganggu oleh telepon-telepon di pagi hari. I really need sleep.

“This is 11 o’clock for God’s sake! And you promised to accompany me to Barry’s Closet!” Aku terkesiap dan terbangun dalam sekejap. Masih mengerjap-ngerjap dan menggosok-gosok mata. “Carly!!” Lauren berteriak lagi.

“Oke, oke. Lauren, I hear you, honey. Sekarang tutup teleponnya, aku siap-siap dulu, oke? Muach..” Kututup telepon sebelum mendengar Lauren berkicau lebih kencang lagi.

Tampaknya semalam aku bermimpi lagi. Soal ciuman itu. Dalam mimpi ini aku melihat Andrew membalas ciumanku, dia melumat bibirku dengan lembut. Mimpi yang membawaku terbang ke awan, namun menjatuhkanku dengan sangat keras di dunia nyata.

Kami meluncur ke Barry’s Closet, toko kebaya tempat desainer bernama Barry. Barry orang Indonesia yang sekolah mode di Perancis. Of course, a gay. Lauren mencoba kebaya-kebaya itu dan meminta pendapatku. Dia membutuhkan kebaya itu untuk acara pertunangannya dengan Ron, pacar tujuh tahunnya. Hebat. Rekor pacaranku aja baru satu setengah tahun, apa yang mereka lakukan selama tujuh tahun?! Semua kebaya tampak cantik dikenakan Lauren, tapi pilihanku jatuh pada kebaya berwarna salem dengan potongan dada rendah dan cutting yang sempurna untuk bentuk tubuh Lauren. Lauren menyetujui saranku dan dia melakukan fitting untuk kebaya itu. Setelah itu kami meluncur ke mal untuk makan siang sekaligus janjian bertemu Ron. Ron berprofesi sebagai seorang dokter yang umurnya setahun lebih tua dari Lauren. Ia berpenampilan lebih tua daripada yang seharusnya. Tapi tampak sangat serasi dengan Lauren.

“Hey, Chris!” Lauren memeluk pria di hadapannya. “Carly, this is Chris. Chris, Carly.”

“Hello,” kataku menjabat tangan Chris. Wajah yang tidak asing. “Have we ever met before?” tanyaku.

“Yep, di Bali. Aku adiknya Andrew.”

Oh, jangan Andrew lagi please. Lauren melihat perubahan pada wajahku dan mengedipkan matanya padaku. Yeah, she knows about everything, the trip, the kiss, everything. Chris tampak lebih tampan dari terakhir kali aku melihatnya. Penampilannya kali ini lebih santai. Ternyata dia masih kuliah tingkat akhir dan sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Dan tinggal di apartemen yang sama dengan Andrew, kamar yang sama. Chris orang yang sangat energik dan supel, mudah mencairkan suasana. Tidak ada masalah ketika harus berbicara atau jalan dengan orang-orang dengan usia yang lebih tua darinya. Chris meminta pin Blackberry Messenger-ku dan nomor ponselku. Dia sedang mendekatiku atau aku cuma kege-eran? Karena pendekatan langsungnya di hari pertama dia bertemu denganku ini benar-benar sangat kentara.

Setiap aku pergi dengan Lauren, selalu ada Chris. He’s like stalking me or something. Dia juga selalu BBM dan telepon aku, sampai aku agak capek menanggepinya. Well, Chris memang sangat asyik diajak bicara, cuma aku jadi sedikit mempertanyakan motifnya mendekatiku.

Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Hampir setiap hari aku terjebak di kantor sampai jam 6. Kantor masih belum memberikanku mobil karena umur kerjaku yang masih baru. Aku terpaksa selalu merepotkan Lauren karena arah rumahnya melewati apartemenku. Tapi hari ini aku agak lebih lembur dari biasanya dan tidak mungkin aku membiarkan Lauren menungguku. Aku pun menyuruhnya untuk pulang duluan. Kantor sudah sangat sepi, tinggal beberapa office boy dan security yang berjaga. Aku keluar dari lift dan berjalan ke pintu utama. Dan yang kulihat adalah sosok Chris yang sedang bersandar di pilar. Aku menganga dan dia tertawa melihatku.

What the hell are you doing here?!” tanyaku kaget. Jujur saja aku kaget melihat sosoknya di depanku. Di kantorku. Oke, jadi setelah dia mengikutiku pergi setiap weekend, sekarang dia mulai berani merambah ke kantorku.

I’m picking you up, Carly. Lauren bilang kamu lembur dan gak akan ada yang nganter kamu pulang. So yeah, here I am.”

“But i didn’t tell her to do that!” Aku akan mencekik Lauren, kataku dalam hati. “And you don’t need to do this, Chris,” lanjutku kembali, berusaha memusatkan perhatian.

Aku memaksa,” kata Chris tegas.

Aku berpikir, dan menimbang-nimbang. “Well, okay,” kataku akhirnya. Aku melihat Chris tertawa lega. “Can we eat first? I’m starving.”

“Everything, Carly.” Chris meraih pundakku dan membimbingku berjalan menuju mobilnya.

Sejak hari itu, Chris selalu menampakkan diri di kantor setiap malam. Dia tahu jadwal pulang kantorku dan setiap aku keluar dari pintu utama, selalu sudah ada sosoknya berdiri di hadapanku. Yeah, it’s Lauren. I’ll kill her.

_______________________________________________

xoxo,

Saturday, September 25, 2010

Champagne Girl (Part 1)

Gak pernah aku bayangkan sebelomnya bahwa seluruh karirku di Maxcom Enterprise ini akan berakhir akibat kebodohanku yang super duper bodoh. Dua tahun terhebat dalam hidupku berakhir karena satu malam bodoh. Can’t even meet him anymore. My boss. I kissed him. In a bar. Damn, seharusnya aku nggak ngambil champagne bodoh itu! I got drunk and it all happened!

“Carly, be ready to our trip”, Pak Andrew mengatakan hal itu padaku di sela-sela makan siang kami bersama staff lainnya.

“Uhm, trip apa Pak?” kataku penuh tanda tanya.

We’re going to Bali tomorrow. Sorry, mendadak. Tapi kita harus menangin tender besok. Kamu harus tampil impressive, as usual.”

Aku tersedak. Oke, bosku emang agak-agak sakit jiwa ya? Kita akan ke Bali, besok, berdua. Dan aku baru dikasih tahu beberapa jam sebelum keberangkatan?! Dan apa yang ada di pikirannya? Berdua?! Okay, jangan salah pikir. I have no intention to chase my boss, he’s great though, but he’s engaged already. Sampai kapanpun gak pernah ada di otakku untuk berbuat yang aneh-aneh sama Pak Andrew, not even a flirt. Well, memang ga bisa dipungkiri kalau Pak Andrew punya daya tarik tersendiri, semua wanita di kantor pun mengakuinya. Penampilannya, pembawaannya, segalanya membuat dia kelihatan charming. Yeah, Mr. Charming, mata kami terpaku kemanapun dia bergerak.

Bali!! Rasanya sudah lama aku nggak pergi berlibur. This is gonna be fun! I finish my job, and I have a little escape! Kami tinggal di hotel berbintang di Ubud. Tempat yang indah dan fasilitas yang menyenangkan. Tiba di Bali kami langsung bekerja, melakukan sedikit research pada perusahaan yang menjadi target kami. Kemudian aku melatih presentasi yang akan aku sampaikan semalaman. Perusahaan di Bali ini, perusahaan ekspor-impor dengan komoditi dan profit yang cukup besar, akan sangat menguntungkan bagi perusahaan kami apabila dapat bekerja sama dengan mereka.

Bangun pagi-pagi di hari kedua, menyiapkan penampilan se-oke mungkin. Okay, i’m ready with the presentation. Presentasi ini tujuannya adalah untuk meyakinkan klien bahwa perusahaan kami adalah perusahaan yang paling tepat untuk diajak bekerja sama, aku menjelaskan cara kerja kami selama ini dan perusahaan mana saja yang telah bekerja sama dengan kami. Impressive, my performance was outstanding. Pak Andrew senyum terhadapku dan mengacungkan jempolnya untukku setelah aku selesai presentasi. Aku tertawa, merasa tersanjung. Okay, aku emang anak emas Pak Andrew, semua orang di kantor pun tahu. Aku yang akan dibiarkan untuk memegang tender-tender dengan perusahaan besar. Sebelumnya, Maxcom Enterprise adalah perusahaan advertising yang cukup terkenal di Jakarta dengan seluruh cerita-cerita hebat di baliknya.

The day after, everything is just perfect. Aku menghabiskan seluruh siang hariku dengan spa di hotel. Rasanya sudah lama sekali tidak memanjakan diri seperti ini. Ponselku berdering-dering menandakan adanya SMS masuk. Pak Andrew, wow.

Carly, mau join saya jalan-jalan? -A.

Pak Andrew mengajakku jalan-jalan? Well, why not? Maybe it’s time to talk about my promotion. Hahaha..

Oke, Pak. Jam berapa saya harus siap? -Carly.

Pukul enam malam Pak Andrew mengetuk pintu kamarku. Aku mengamati lagi penampilanku di cermin. Tidak ada yang salah, semua terlihat pas. Aku memakai celana jeans skinny-ku, dan atasan sedikit loose. Kuikatkan sebuah syal di leherku. Kubuka pintu dan kulihat Pak Andrew di depanku dengan senyumnya yang menawan.

“Udah siap?” Pak Andrew memakai celana panjang jeans yang sangat jarang kulihat. Masih dengan sepatu vantovelnya, tapi kali ini dia memakai kaos berleher V dan jas yang semi formal.

Yes, sir.” Kututup pintu kamarku dan kami melangkah keluar. Ternyata kami tidak pergi berdua, kami pergi dengan adik Pak Andrew yang kebetulan lagi liburan di Bali juga. Cowok, dengan jarak umur yang cukup jauh dengan Pak Andrew, dia 21 tahun dan Pak Andrew 30 tahun. Chris namanya. Cukup tampan walau tidak setampan Pak Andrew, dan cukup matang untuk anak seusianya. Kami pergi makan malam di Jimbaran, kemudian berjalan-jalan di sekitaran Kuta dan menghabiskan malam di bar.

“Carly, penampilan kamu kemarin luar biasa hebat.”

Thanks, Pak. Berkat ilmu dari Bapak juga kan?” kami tertawa bersama-sama.

I buy you a champagne, allright?” Aku adalah tipe orang yang nggak bisa minum. Tapi kalau cuma segelas champagne seharusnya nggak akan kenapa-kenapa kan? Singkat cerita, kami pun bercerita dan tertawa bersama-sama. Membicarakan kehidupan di kantor yang tidak ada habisnya. Dan champagne yang seharusnya hanya segelas itu menjadi bergelas-gelas. Musik di bar pun sangat mendukung suasana romantis yang terjadi. Wait, romantic? Did I just say that?! It must be something wrong with my head.

Wanna dance?” Pak Andrew mengulurkan tangannya. Kepalaku sudah cukup pusing, tapi aku masih bisa melihat wajah rupawan Pak Andrew di tengah keremang-remangan ini. Kusambut tangan Pak Andrew. Hangat. Siapapun tunangan Pak Andrew, Ally atau siapa itu namanya, pasti sangat beruntung mendapatkan pria seperti Pak Andrew.

Kukalungkan tanganku di leher Pak Andrew, dan Pak Andrew memegang pinggangku. Kami sangat dekat. Seharusnya semua menjadi lebih romantis, tapi champagne idiot itu membuatku meracau gak jelas. Bodohnya hal yang aku bicarakan adalah orang yang keberadaanya hanya beberapa sentimeter di depanku, entah aku sadar atau tidak. Aku mulai meracau tentang bagaimana pengaruhnya di kantor, khususnya bagi wanita. Bagaimana kami terpukau dengan pembawaannya. Aku bisa melihat Pak Andrew tertawa di hadapanku.

“Carly, kamu mulai mabuk. Lebih baik kita pulang sekarang.” Pak Andrew membisikkan kata-kata itu di telingaku. Aku terkesiap, aku merinding. Next time i know, bibirku sudah mendarat di bibirnya. Dan entah mengapa aku tidak kuasa melepasnya. Pak Andrew memegang pipiku dan menarik wajahku. Memanggil namaku, dan sepertinya tidak kujawab karena aku sudah semakin ngelantur.

Aku membuka mataku. Kepalaku berat. Perutku mual dan lapar. Oh shit, what time is it?! Aku terkesiap kaget melihat jam menunjukkan angka 11. Penerbanganku pukul 3 dan aku belum siap-siap sama sekali. Aku bergegas ke kamar mandi dan terkaget-kaget melihat pantulanku di cermin. Oke, ini mengerikan, rambutku sangat berantakan. Aku sudah tidak memakai syal. Oke, dimana syal itu? Syal yang sama sekali tidak menutup diriku dari dinginnya angin malam, syal bodoh. Kucari-cari syal itu kesana kemari dan tetap tidak menemukannya. Kuputuskan untuk melupakan syal itu dan segera membersihkan diri. Berendam di bathtub dan mulai menyatukan potongan-potongan kejadian semalam. Aku tidak ingat seutuhnya, tapi aku yakin sekali aku menciumnya. Crap! Dan aku muntah, bener nggak? Oh my God, ini benar-benar memalukan. Gara-gara champagne sialan itu! Nggak seharusnya aku coba-coba menenggaknya, satu gelas pun nggak! Aku mulai kebingungan mencari cara untuk tidak bertingkah lebih bodoh lagi. Aku harus pura-pura lupa. Padahal nanti aku akan berada di pesawat bersama Pak Andrew! Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Kami berada di pesawat, berdua. Aku diam, aku benar-benar tidak bisa berkutik. Wajahku menunduk membaca buku. Aku tidak bisa menatap wajah Pak Andrew yang sedang tidur.

“Carly...” Pak Andrew mengganggu lamunanku. Of course, i’m not really reading the book. Aku masih berusaha memikirkan arah pembicaraanku. Haruskah aku menyinggung soal semalam? Aku menengok ke arah Pak Andrew. “Seharusnya kamu bilang sama saya kalau kamu nggak bisa minum,” Pak Andrew melanjutkan kata-katanya. Crap, ini dia. Topik ini yang sudah kutunggu-tunggu.

“Maaf, Pak. Maaf kalau saya semalam merepotkan Bapak.”

“Nggak, Carly. Semalam sangat menyenangkan. Nggak nyangka bakal ngelihat kamu mabuk.” Pak Andrew tersenyum.

Apa? Menyenangkan? Apa Pak Andrew nggak tahu aku mau mati memikirkan tentang kejadian semalam?! Menyenangkan dari mana?! Tapi Pak Andrew nggak menyinggung apa-apa soal ciuman itu. Apa Pak Andrew juga menikmatinya? Ah, pikiran bodoh apa ini? Carly, he’s not available! Go find another man!

_________________________________________________

xoxo,

Friday, May 28, 2010

Two Hearts (Part 4)

My phone alarm is ringing loudly. The tears are still in my eyes.

Oh thank God, it was just a dream.. I thought i really fall into forbidden love like that. I’d rather be alone than do a stupid thing like that. But i aint finish anything. Yeah, it’s tonight. The time is here. No more bad scenario. I wish.

I guess my feeling for him is just temporary. Or only a lust maybe. Yepp, when i didnt meet him for a week, it’s just blew away. I feel nothing to him. Isnt it a great sign to over this?

“What do u wanna say?” he asked me.

“Uhm, i guess i dont want to do this anymore. I dont want to be the interuptor of your relationship. And since your gf doesnt know anything about us, please just let it disappears. We have to end this.”

“Is that what u want? I thought u love me.”

“I did. And yes, i’m sure about this. I like u, n i wish i can be with u like usual, but as a close friend, not a lover.”

He’s cold. He doesnt say any words.

“Please? i’m begging u. U have to let me go. U have your own love. It’s not for me. I cant expect anything from u. Dont u feel sorry for me?”

“Fine. If that’s what u want. I’m okay. I hope u get the best.”

“Thanks. I will. I will get the one who loves me and will never share his love to the other. Haha..”

“Hey! U’re just offend me!” he yelled at me. We both start laughing.

I’m glad. I finally could say it.

****** S ******

Dedicated to all girls, who feel stupid of being someone else’s girl. lol. Dont let your temporary feeling make u fall.

Wednesday, May 19, 2010

Two Hearts (Part 3)

“Where are u? Why i cant call u? I’m panic.. Tell me where u are now..” He texted me. So this is the 2nd time i make him panic. haha.. The first one wasnt on purpose though.  But this time, i really mean it. I just wanna know his reaction. How stupid i am. What did  i do?! I just made a decision yesterday.. Now i made this scenario, really bad scenario.. Now that he’s searching on me hardly, i know i just gonna feel harder to let him go. Really..

He found me. He knows where i am. “Please dont do this to me.. I’m freaking out u know?!” He hugs me tight.

“I’m sorry.. I just wanna be alone”.

“If this is the way u wanna be alone, i wont leave u alone. I will accompany u. I cant hear anything from u. I was scared u know.. I dont want something bad happen to u, babe..”

Oh, stop it please!! Now what can i do? I’m melting. Every girls will melt when a guy they love treats her like this. “Why are u keep looking for me? I thought we are over now. U already chose your plan A.”

“Please, it’s not about plan A or B, okay?! It’s about how i feel about u. I also never thought before that i will go as far as this. I love you. That’s it. Please, come back to me.”

I cant say any words. He hugs me and kisses me like there’s nobody here.. And my tears are going down. I guess i just fall in love. A forbidden love.

Sunday, May 16, 2010

Two Hearts (Part 2)

So after the girl left town, we meet up. I feel unright. Feel no comfort anymore. And i just realized that everytime i’m with him, we should keep hiding that there’s something between us. Cant hold his hand, cant hug each other. So what’s the good thing? You know, it’s your touch and hug that makes me feel like heaven. Haha..

I should listened to the people. It’s my own choice. I chose to start it, now it’s me who can end this.

Yeah, we meet up. I tell him, i cant stay with this situation. I cant hold the hurt longer. It’s my foul till i come to your love life. I’m not supposed to be there. There’s should be only u and your girl. That’s it. I know that i wasnt serious at the first time. This was just for fun.. We’re going with the flow. But my feeling was going deeper and deeper. And i cant handle it. And it’s wrong. If we through this any longer, i’m afraid i cant let u go.

If u dont wanna see me hurted, just let me go. U know i cant expect anything from u. Why should i stick with someone who cant give me what i need? I’m like a broken strings. And that song is definitely fits me.

Yepp, i think this is the best. For me. Cause what’s best for u is your plan A. 

Thursday, May 13, 2010

Two Hearts (Part 1)

I cant believe that it will hurt me. Till i cry like this. It started with some coincidences, or not maybe? That he already chose me from the first time he saw me. That’s what he said. And finally i came to him. But I already promise to myself that i’ll never asking or complaining about his girl. Yeah, i will think that he’s single. Done. But since we started a conversation about that thing yesterday, now i cant stop thinking about it.

And i did hurt. Thinking what will he do with the girl for the following days. I’m jealous. Danggg! He must be forget about me. I know I’m not supposed to feel too deep with a guy like him. But it happened already. Now what? Can i rewind the time? Back to last night? I should clear everything last nite. It should be a goodbye..

I was just thinking that he’s probably forgetting me, but then his name appeared on my phone. I was like, surprise!! Oyeah, he’s in front of my home now, across the street, with his girl inside the car. What a lovely condition eh?! Are u INSANE??!! And i feel a ‘gadogado’ feeling rite now.. I feel happy cause the fact that he remembers me, but i feel sorry to his girl, and i feel hurt also. Haha.. This is so funny.. How could i do this?!

God, if only i could rewind the time.. Back to last night. I definitely would tell him to be good, stick with his girl. Dont look to any other girls again. Since he had the thought to marry with this girl. And he told me that someday i will find a good guy for me. Which is definitely NOT HIM. What do i expect anymore?? See, it’s full of questioning..

Do u think i’m stupid? Cos i know i am. It’s me who will get hurt at the end, becos i know everything. The girl wont hurt if she knows nothing. So the point is i’m stupid, i hurt the girl undirectly, but i also get hurt. Hahaha… But why i still do this?

It’s wrong from the first time. I know that i will loose at the end. It’s even better not to start it. How to end it??

Tuesday, February 23, 2010

Love is Blind

 

i got this story from a local magazine.. try to translate this to english.. sorry for my bad english.. but this story is really interesting.. story about a phrase ‘love is blind’

one day, all characters are gathered. they are bored because they have nothing to do. ‘intelligence’ suggests to play hide and seek. the other love the idea n decide that ‘insane’ will take the first place to count. while ‘insane’ closes his eyes and counts, the other go hiding. after finish the counting, ‘insane’ starts to seek the other. ‘lazyness’ is the first one who’s found, he doesnt even want to push his energy to hide. followed by ‘doubt’, who’s still confused on deciding where to hide. n then followed by ‘tenderness’ who hides behind the moon. ‘insane’ finally finds all characters except ‘love’. ‘jealousy’ who’s jealous to ‘love’ because she hasnt been found, tells '’insane’ that ‘love’ is hiding behind the rosebushes. ‘insane’ desperates to look for ‘love’ n he thrusts the rosebushes with a gardenfork random. a sound of cry comes out and makes ‘insane’ stop. it comes from ‘love’ who’s came out from her hiding place with hands covering her face. a fresh blood from her eyes get down through her fingers. ‘insane’ is feeling sorry and regret, “i made u blind,love.. what should i do to fix it?” ‘love’ answered,”u cant fix it. but if u want to, u can be my guide.” start from that moment, when there’s love, there’s insane.

isnt this story so great? everytime u fall in love, just keep your mind being rational.

Love_20is_20Blind_20_28VD_29

 

XOXO,

S

Sunday, January 17, 2010

GOODBYE

*Bianca*

“Cha, kamu dijodohin sama dia ya?” tanya Rendi sambil menunjuk sosok pria berkacamata di seberang.

“Ngomong apa sih, yank? Aku kan udah bilang aku ga dijodohin sama kak dio.”

“Tapi Litha yakin banget kok liat kamu jalan sama dia,” serobot Rendi ga sabaran.

“Dia punya nama, sayang. Kak Dio. Aku emang dinner tapi kan sama papa juga. Udah deh, stop pikiran aneh aneh kamu itu. Aku laper yank, ke Pancious yuk..”

Rendi adalah pacarku. Kita udah pacaran dari kelas 1. Kalau kata orang-orang, kami ibarat pasangan yang udah nggak terpisahkan, ibaratnya tinggal tunggu waktu yang tepat buat nikah. Tapi, apakah waktu itu akan menungguku? Atau malah akan mendahuluiku?

“Dor! Sayang, lagi mikirin apa?” tanya Rendi mengagetkanku.

“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku masih terbata-bata.

“Sayang, besok siang ikut aku ke rumah ya? Ada acara sebulanan si Nayla. Mama pengen ketemu kamu.”

“Aku nggak bisa, yank. Sorry ya. Aku udah ada janji sama papa.”

“Yah sayang, ayo donk. Kan udah lama kamu nggak main ke rumah.”

Rendi emank paling bisa ngerayu kaya gini. Bikin aku goyah. Dia adalah sosok yang sangat hangat. Ironis, tapi itu cuma berlaku untukku saja. Di depan orang lain, Rendi adalah sosok orang yang dingin dan cuek. Salah ngomong sedikit bisa langsung kena semprot sama dia. Hanya pada orang-orang terdekatnya Rendi menunjukkan sosok aslinya. Hal ini terjadi karena Rendi pernah disiksa selama 8 tahun sama ayahnya. Ketika Rendi hampir mati, barulah mama Rendi sadar dan menceraikan ayahnya. Saat ini ayahnya mendekam di penjara di luar kota. Cinta itu memang buta yah...

“Maaf yank, nggak bisa. Lain kali aku pasti ikut deh,” kataku tersenyum.

*Rendi*

“Rendi!! Kamu ngapain masi disini?! Jangan main main HP melulu!”

“Iya iya, Mam.. Rendi berangkat sekarang.”

Mama nih bawel banget. Cuma gara-gara cake aja sampai nyuruh anaknya yang ganteng ini panas-panasan. Untung gue juga penggemar Tiramissu cake cafe mungil. Kalo nggak, gak rela gue jauh2 gini ke daerah Malaka. Tiramissu cake selalu jadi favorit keluarga gue. Setiap ada acara khusus pasti kita selalu pesan cake di sini.

‘Loh, itu kan Chacha. Kok sama si Dio!’ tanyaku dalam hati. ‘Chacha ga mungkin bohongin gue kan? Dia bilang ada janji sama bokapnya.’ Hati gue mulai bergolak gak karuan. Selama pacaran sama Chacha, sekalipun dia belum pernah nutupin sesuatu kayak gini. ‘Loh, kok Chacha nangis?! Diapain dia sama si Dio?!’

“Chacha!” teriak gue. Chacha langsung cepet-cepet ngehapus air matanya. Dia kayaknya kaget banget ngeliat gue.

“Rendi, kok kamu ada disini?”

“Ikut gue!” Gue tarik Chacha dari mejanya. Gue bawa dia ke parkiran.

“Rendi, stop it!” akhirnya Chacha ngeluarin suara juga. “Aku mau balik ke sana.”

“Kamu bilang kamu janjian sama Papa. Kamu ada masalah apa sih Cha sampai bohong sama aku?! Dan kenapa harus sama si Dio itu lagi!” Sialan, gue paling nggak mau dicap cowok cemburuan gini. Tapi si Dio udah bikin Chacha nangis. Gimana gue nggak marah.

“Aku... Aku akan jelasin nanti ke kamu. Yah? Sekarang aku harus balik ke sana.” Chacha ngelepasin genggaman tangan gue.

*Rendi*

“Maaf.” Chacha menangis tersedu-sedu.

“Kenapa sih, Cha? Kenapa nggak bilang dari dulu!” teriak gue marah.

“Sorry Ren. Ini keinginan papa. Aku nggak bisa nolak. Ini juga terlalu mendadak buat aku.” Chacha berusaha memegang tangan gue tapi gue menyentakkannya. Gue nggak bisa terima keputusan Chacha yang tiba-tiba mau ke luar negeri. Padahal ujian kelulusan sekolah tinggal sebentar lagi. Bahkan dia nggak bilang sama gue negara mana yang bakal jadi tujuannya!

“Rendi...”

“Cha, aku gakpapa kamu diemin, gakpapa kamu ngambek. Tapi kalo kamu nutupin sesuatu dari aku, bohong sama aku, sama aja kamu nyiksa aku, Cha! Bodoh banget ya aku.” Gue mulai frustasi sama keadaan ini. Gue teriak teriak nggak karuan. Barang-barang di meja gue lemparin.

“Rendi! Aku tetep sayang sama kamu. Nggak akan ada yang berubah. Aku janji gak akan ada yang berubah, Ren. Cuma aku... Aku nggak bisa berhubungan lagi sama kamu. Kamu bakal sakit kalo kita nerusin ini.”

“Cha, it’s okey kalo kamu mau nikah sama Dio. Gakpapa aku jadi simpenan kamu. Asal kamu nggak pergi dari aku.” Gue mulai nangis. Kayaknya udah lama banget gue nggak nangis. Gue udah mati rasa sama yang namanya air mata. Gue peluk Chacha. Gue cium Chacha. Gue nggak bisa nggak ada dia. Gue udah nyerahin segalanya sama Chacha. Gue nggak bisa kehilangan dia. Gue tau itu. Chacha juga tau itu. Ciuman ini jadi lebih sakit dari biasa dia gigit gue. Lebih sakit dari siksaan bokap gue. Rasa asin air mata kami melebur ke dalamnya. Apa nggak ada yang bisa gue lakuin buat ngerubah keputusan Chacha?!

Setelah hari itu, Chacha bagai hilang ditelan bumi. Nomornya nggak aktif. Rumahnya kosong. Chacha juga sudah mengundurkan diri dari sekolah. Gue? Gue kembali ke masa penyiksaan. Gue harap Chacha bisa bahagia sama pilihannya.

*Bianca*

“Kak Dio, makasih banget!” kataku menangis. Tapi ini adalah tangisan bahagia. Aku memeluk Kak Dio.

“Cha, kalau kamu balik kesana, kamu harus jelasin sama Rendi. Kakak tau gimana menderitanya kamu selama disini. Kamu udah tumbuh jadi gadis yang kuat, Cha.”

Aku mengangguk. Kemudian papa masuk ke ruangan ini, memeluk Kak Dio sambil menangis juga. Paling nggak dengan begini aku udah ngebahagiain Papa. Aku yakin udah berbuat sesuatu yang benar. Aku nggak bisa ninggalin Papa yang selama ini ngerawat aku sendirian. Papa terlalu baik dan berharga buat aku.

“Bian... Papa...” papa memeluk aku dan menangis.

“Pa, udah jangan nangis lagi. Papa lihat kan, Bian sekarang udah sembuh, Pa. Papa gak perlu takut lagi.”

“Papa bangga sama kamu, Nak. Kamu kuat. Papa sekarang lega kalo kamu mau hidup sendiri. Papa dukung kamu, Bian.”

Hari ini adalah hari kepulanganku dari Amerika. Sudah lebih dari 3 tahun aku menjalani hidup disini. Di Wellchester Hospital lebih tepatnya. Aku menjalani operasi serta perawatan dan pemulihan untuk penyakit Alzheimer yang sudah aku derita sejak akhir kelas 1 SMA. Semakin lama penyakit ini semakin menggerogoti ingatanku. Kak Dio adalah lulusan sekolah kedokteran Amerika. Dia yang merekomendasikan aku buat berobat di sini. Kata Kak Dio, peluang sembuhku masih sangat besar kalau aku cepat diobati. Ternyata perkataan Kak Dio benar. Dan aku sangat sangat bahagia. Aku nggak mungkin ngecewain Papa. Papa ditinggal sama Mama ketika aku berumur 1 tahun. Mama meninggal karena penyakit Alzheimer juga. Bagaimana mungkin aku tega memberikan Papa cobaan yang sama kedua kalinya?

Bau kota ini masih sama seperti ketika kutinggalkan dulu. Ada beberapa bangunan baru. Rendi apa kabar ya? Selama aku di Amerika, aku nggak pernah kontak sama dia. Aku merahasiakan segala sesuatu. Aku takut operasiku gagal dan pada akhirnya aku harus meninggalkan dia, itulah sebabnya aku nggak pernah cerita apapun sama dia. Aku tahu Rendi paling takut kehilangan aku.

Tujuan pertamaku tentu saja menikmati Tiramissu cake di cafe mungil. Dan berharap aku bisa bertemu Rendi. Apa Rendi masih marah sama aku karena kepergianku yang tanpa jejak itu?

“Chacha? Chacha kan?”

Aku mendongak ke arah suara itu. “Tante!? Apa kabar?” jawabku sumringah. Ternyata Mamanya Rendi. Sebuah kebetulan yang sangat mengejutkan. Lalu kami pun berbincang-bincang. Rendi saat ini kuliah di luar kota. Universitas Cascade, tempat kami berdua berencana melanjutkan studi. Saat ini pasti Rendi sudah mau lulus kuliah. Tante bahkan memberikan aku alamat tempat tinggal Rendi disana.

*Rendi*

“Mama yang bener deh?! Ngapain mama ngasih nomor Rendi ke Chacha?!” sergah gue marah di telepon. Mama gue mikir apaan sih!

“Yah, kan mama pikir kamu mau ketemuan sama dia. Chacha berubah lho Ren, tambah cantik, rambutnya pendek. Chacha nggak punya tempat tinggal, Ren. Mama sampe tawarin dia tinggal di rumah loh, tapi ternyata dia tinggal di hotel.”

“Ma, mama tau kan gimana Rendi berusaha ngelupain dia?”

“Tapi Chacha tuh nggak nikah Ren. Dia masih single kok.”

“Rendi nggak peduli dia udah nikah atau punya anak, Ma.”

“Yah terserah kamu deh, Ren. Siap siap aja kalo Chacha dateng ke sana.” Mama tertawa-tawa menggodaku.

Gue nggak habis pikir. Ngapain Chacha balik ke sini?! Setelah dia ninggalin gue gitu aja, tanpa penjelasan. Gue udah berusaha bangun kehidupan gue dari awal lagi.

Bel pintu apartemen gue bunyi. Nggak mungkin Chacha kan? Gue udah SMS dia buat nggak nemuin gue lagi. Gue juga nggak pernah angkat teleponnya. Masa iya Chacha berani kesini. Gue buka pintu apartemen gue dan benar lah Chacha yang muncul dibalik pintu itu.

“Hello Ren!” sapa Chacha dengan senyum termanisnya. Damn, senyum itu, gue inget banget senyum itu cuma buat gue.

“Aku udah bilang kamu nggak usah kesini!” sergah gue kasar.

“Ren, aku tau kamu masih marah dan nggak bisa terima keputusan aku dulu.”

“Cha, aku udah bilang nggak usah bahas yang dulu-dulu.”

“Tapi aku kesini karena mau ngejelasin itu, Ren.” Lagi-lagi Chacha berusaha mengambil tanganku, persis seperti dulu. Dan seperti dulu juga kusingkirkan tangannya dengan kasar.

“Aku nggak butuh penjelasan, Cha. Kamu udah milih pergi. Udah milih ninggalin aku. Dan sejak saat itu pula aku udah putusin aku nggak akan kembali sama kamu, Cha. Aku sakit, Cha. Kamu nggak tahu betapa susahnya bangun kehidupanku dari awal lagi.”

“Ren, tapi kamu nggak tahu sebenernya yang terjadi tu apa,” jawab Chacha terbata-bata. Chacha mulai menangis. Sial, gue paling nggak tega liat dia nangis.

“Cha, pergi. Pergi dari sini!” sergahku marah. Gue buka pintu, gue dorong Chacha keluar. Gue banting pintu apartemen gue.

“Ren, kenapa sih kamu ga bisa denger Chacha bentar aja! Nggak ada yang berubah, Ren! Perasaan Chacha tetep sama!”

Chacha berteriak teriak dari balik pintu. Perasaan gue sakit, gue nggak mau Chacha sedih kayak gitu. Tapi dia udah pilih jalannya sendiri. Dan gue juga udah berada di jalan gue sendiri. Gue nggak mau kembali ke jalan yang sama kayak dulu. Gue tutup kuping gue. Tapi suara Chacha tetep terdengar.

“Chacha selalu sayang sama kamu, Ren. Chacha nggak pernah ngelupain kamu. Chacha juga berusaha hidup buat kamu, Ren. Chacha nggak akan pernah ninggalin kamu, Ren. Rendi...”

Gue diem. Chacha menangis. Ironis.

Yang gue tahu akhirnya Chacha balik lagi ke Amerika. Gue putusin buat nggak ngubur hal-hal tentang Chacha, biar bagaimanapun kenangan manis gue semua adalah karena Chacha. Dia yang udah ngobatin luka hati gue karena disiksa bokap. Dan gue, menjalani kehidupan gue juga disini, dengan susah payah tapi pasti. Gue mulai menapak ke babak awal kehidupan baru gue.

*FIN*

_____________________________________________

Satu lagi short story dari saya!!hahahaha.. inspired by a song, named Goodbye, from Jang Geun Seok.. entah kenapa setiap denger lagu itu bawaanya sedih doank.. jadi menghayati.. haha..

Enjoy!! :D

 

XOXO,

S

Thursday, March 5, 2009

Sedikit cerita... Belom ada judul...

PROLOGUE
“Sori, Ga, ternyata aku nggak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi”.
“Tapi kenapa, Bel? Kita kan nggak ada masalah apa-apa, kenapa tiba-tiba kamu mau mutusin aku?”
“Ga, ada hal-hal yang nggak bisa aku jelasin sama kamu. It’s complicated”. Akhirnya kata itu terucap juga. Sebenarnya Rega adalah seorang cowok yang sangat baik sama aku, dia sayang aku, dia perhatian, dan dia nggak macem-macem, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah dia bukan soulmate aku.

SOMEDAY ON JAKARTA
“Bel, jadi kan ikutan workshop desain di Bandung minggu depan?” tanya Keke temanku. Keke dan aku sama-sama kuliah di La Salle College jurusan desain grafis. Kebetulan aku dan dia lagi bikin skripsi, jadi kami berencana ikutan workshop desain di Bandung buat nambah-nambah bahan skripsi. 
“Pasti lah, Ke. Gue udah nggak sabar banget pengen tahu pengajar kita, katanya tipe yang cowok banget, keren lagi”.
“Dasar loe ya, Bel, skripsi kita tuh udah deadline banget. Bisa-bisanya loe malah mikirin si Pak Bona”.
“Terserah gue dong, pokoknya besok gue harus kenalan sama Pak Bona. Harus.”

WEEKEND ON BANDUNG
Workshop desain di Bandung berlangsung 2 hari. Tepatnya berlangsung di Universitas Padjajaran. Ternyata banyak juga peminat workshop ini, ada 80 peserta dari seluruh Indonesia yang berkumpul di sini. Hari pertama, kita bener-bener dikasih pelatihan dari para ahli desain tentang gimana cara desain yang baik, yang sesuai tema, yang komposisi warna serta tulisannya enak dipandang mata, dan lain-lain. Baru di hari kedua, ada kompetisi desain buat seluruh peserta workshop. Disana, kita akan diberi tema khusus oleh juri kemudian kita bikin desain mengenai tema itu seunik mungkin.
Aku excited banget buat ngikutin workshop ini, terutama karena ada Pak Bona. Mas Bona mungkin lebih tepatnya, karena ternyata dia baru berumur 29 tahun. Dia bukan cowok tipikal aku sih, tapi kharismanya bener-bener bikin aku meleleh. Bikin aku nggak konsen selama workshop. Omigod, kenapa ada pria selembut dan setampan dia? Cara bicaranya aja udah bikin aku meleleh. Ditambah lagi ngelihat bahunya yang bidang, badan yang kekar dalam balutan jas dan celana jeansnya, ‘you’re my life Mr.Bona’, kataku dalam hati. 
“Bel, loe dipanggil tuh sama Pak Bona”, panggil Keke membuyarkan lamunanku yang nggak penting.
“Eh, apa Ke?”
“Loe dipanggil sama Pak Bona. Hellooow, denger nggak sih?”
“Eh, apa?! Gue dipanggil?” kataku setengah berbisik. “Saya, Pak?” jawabku sambil mengangkat tangan.
“Ya kamu. Marceline Anabelle. Bisa sebutkan filosofi desain menurut Anda?”
“Uhm, design is flexible, I think.”
“Jawaban bagus,” kata Pak Bona sambil tersenyum. Aduh, kenapa sih dia harus senyum kaya gitu, bikin jantungku tambah jungkir balik. “Oke temen-temen, sekian workshop hari ini, tema untuk kompetisi besok bisa kalian lihat di papan pengumuman di depan. Silahkan persiapkan diri sebaik mungkin. Selamat sore.” 
“Bel, loe gila ya? Loe dari tadi mikirin apa sih ngeliatin dia terus?”
“Aduh, Ke. Gue juga nggak ngerti kenapa, gue nggak bisa ngalihin pandangan dari dia.”
“Bel, loe belom tau siapa dia, don’t put too much expectations lah.”
Malam minggu di Bandung seru banget, belum lagi pemandangan di Dago atas yang indah banget, dan yang pasti dingin. Aku dan temen-temen workshop yang satu hotel akhirnya pergi makan di Sierra. Ternyata bukan Cuma aku aja yang mengagumi Mas Bona. Kenapa sih harus Mas Bona lagi, harusnya aku menikmati malem ini sebagai happy single woman, tapi kenapa semua cowok harus berwajah kaya Mas Bona sih?! Bener-bener nggak masuk akal.
“Eh, kalian udah nentuin mau bikin apa besok?” tanya Rena teman baruku. “Gue denger gosip nih, katanya selain dapet uang dan piagam, pemenang kompetisi besok bakal kerja bareng sama Pak Bona.”
“Ah, serius loe?” kataku tertarik.
“Iya, katanya Pak Bona lagi ada job besar dan dia lagi butuh asisten. Jadi lah pemenang kompetisi besok bakal dia jadiin partnernya.”
Aku yang sebelumnya kurang tertarik sama kompetisi besok tiba-tiba berambisi buat menang. Serius, kerja bareng Mas Bona, which is aku bakal kenal sama dia. Dan pasti bakal sering ketemu sama dia. Orang bodoh mana yang akan melewatkan kesempatan ini?
Keesokan paginya, aku bangun sepagi mungkin. Kupakai pakaian favoritku, blouse putih tanpa lengan dengan detail ruffle di bagian lengannya, dipadu dengan celana 7/8 warna hitam, plus flat shoes warna senada. “Okey, perfect”, kataku dalam hati. Kompetisi desain dimulai pukul 8. Tema yang diambil adalah eclipse. Otakku berputar cepat. Kuputuskan untuk menggambar wanita yang sedang memegang bulan di tangannya. Wanita itu meneteskan air mata. Eclipse is about between two things. Inti gambarku sendiri sih sebenernya mengenai pilihan. 
Jam makan siang menandakan berakhirnya kompetisi ini. Para pengajar berkumpul sementara kami makan. Jantungku dag, dig, dug, nggak karuan. Berharap. Cemas. Semua campur aduk jadi satu. Kurang lebih 40 menit kemudian Pak Andrew keluar dari ruang rapat dan menyuruh kami untuk kembali berkumpul di ruang workshop. 
“Setelah melihat karya temen-temen, akhirya kami memilih tiga yang terbaik. Terus terang, temen-temen di sini benar-benar sangat berbakat dan sangat sulit memilih yang terbaik dari yang terbaik. Ketiga pemenang ini akan menerima uang tunai serta piagam, namun hanya satu pemenang saja yang akan mendapat hadiah khusus, yaitu bekerja sama dengan Pak Bona,” kata Pak Andrew menjelaskan. “Okey, langsung saja, untuk dua pemenang terbaik adalah” – Pak Andrew menghela napas – “Virgo Nugraha dan Bobbi Prasetya”.
God, last chance. Wish me luck.
“Dan yang mendapat kesempatan bekerja sama dengan Pak Bona adalah Marceline Anabelle. Selamat.” 
Hah?? Marceline Anabelle? Aku? Nggak ada Abelle yang lain kan? Is it real?? 
“Bel, loe tuh. Maju sana!” perintah Keke.
Okey, kali ini aku bener-bener yakin kalo itu aku. Aku pun maju ke depan. Pak Andrew mengucapkan selamat dan menjabat tanganku, diikuti Mas Randi, kemudian Mas Bona. 
“Selamat ya, saya nggak sabar bekerja sama dengan kamu.” Kata-kata Mas Bona menusuk ke dalam hatiku, perasaanku meluap-luap, bahagia. “Saya juga, Mas”, gumamku.

BUSY WEEKS WITH MR. BONA
Teleponku berdering dari bawah bantal. Aduh, ganggu tidurku aja sih. Siapa juga yang pagi-pagi gini telepon? Gila ya??! “Halo?!” kuangkat telepon dengan suara lemah dan bersungut-sungut.
“Halo, Abelle? Ini Bona.” Aku terkejut mendengar suara lembut di seberang telepon. Suaranya kaya suara Mas Bona. Tunggu, Bona yang mana dulu nih. Seingatku, nggak ada temanku yang namanya Bona. Masa beneran Mas Bona sih?
“Iya. Ini Mas Bona Aditya?” tanyaku tergagap.
“Iya, ini saya. Bel, saya lagi jalan ke Jakarta nih. Saya mau ketemu kamu, bisa?”
“Bisa Mas Bona. Di mana dan jam berapa?”
“Kita ketemu di Senayan City aja ya, kurang lebih 2 jam lagi saya tiba di sana. Saya mau membahas mengenai project kita.”
“Oke, Mas.” Omigod, Mas Bona mau ketemu aku. Ketemu aku! Dan dia bilang project ‘kita’. Kita?! Aku langsung melompat dari kasurku dan bergegas ke kamar mandi. Dandan. Aku nggak mau telat untuk pertemuan pertamaku sama Mas Bona. Secepat kilat aku memacu mobil ke Senayan City. Dan aku pun memasuki Burger King, tempat kita janjian.
“Abelle?” panggil suara di sampingku. Ternyata, itu Mas Bona. Tampil casual dengan kaos lengan panjang serta celana khaki-nya, dipadu dengan sneakers putih. Okey, kutarik kembali ucapanku mengenai dia bukan tipe cowokku. Ini sih more than perfect. Aku terpaku memandangnya, sampai ia memanggilku untuk yang kedua kalinya. Malu banget.
“Maaf Mas Bona, udah lama nunggunya?”
“Nggak. Aku yang kepagian, ternyata jalanan nggak begitu macet. Oya, Bel, panggil Bona aja.”
“Oke, Mas. Bona maksudnya.”
Selama satu setengah bulan Mas Bona bolak-balik Bandung-Jakarta. Dan selama itu pula frekuensi pertemuanku sama dia nggak pernah berhenti. Pernah juga dia nginep di Jakarta selama seminggu. Kami mengerjakan project itu 24/7. Itu artinya, waktuku buat mengenalnya bener-bener banyak. Aku mengaguminya melebihi yang kukira, bahkan timbul rasa yang melebihi rasa kagum dalam hatiku. Cinta. Ya, aku rasa aku mencintainya. Kepribadiannya yang hangat membuatku merasa sangat nyaman di dekatnya. Perbedaan umur 7 tahun pun tidak berarti buatku. Mas Bona benar-benar pandai membawa diri. Dia juga sangat perhatian sama aku. Tiga kali sehari dia telepon, Cuma buat ngingetin aku untuk makan. Mas Bona, ini semua melebihi harapanku. Tahukah kamu kalo aku memiliki perasaan yang lebih? Kalo ini semua dilanjutin, aku takut nggak akan bisa menyembunyikannya lagi. 
Sampai akhirnya project yang kami bikin bersama diterima dengan baik dan berhasil memuaskan hati perusahaan itu. Mas Bona mengajak aku makan malam di Sky Café. Suasana restoran itu luar biasa romantis, makan malam di lantai paling atas sebuah hotel, tanpa atap, hanya lilin-lilin yang menemani. Dengan Mas Bona di hadapanku, rasanya aku tidak ingin malam ini berakhir. Di sana Mas Bona memberikanku sebuah hadiah. Kalung emas putih, dengan liontin berbentuk hati. Apa maksud semua ini? Apa Mas Bona juga memiliki perasaan yang sama? Aku nggak berani bertanya, dan Mas Bona juga tidak mengatakan apa-apa. Yang aku ingat malam itu adalah Mas Bona mengantar aku pulang, dan sepanjang perjalanan ia menggenggam tanganku, erat dan hangat. Kami mencair dalam kebisuan, hanya sesekali bercanda. Ini kali pertama Mas Bona begitu hening, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Terakhir, ia memelukku erat dan mencium keningku. Aku tidak ingin melepaskan pelukannya. Aku tahu mungkin aku nggak akan ketemu Mas Bona lagi setelah dia pulang ke Bandung. Sungguh sulit berada jauh dari Mas Bona. Apakah setelah dia pulang ke Bandung, dia masih mau telepon aku setiap hari Cuma buat ngingetin aku untuk makan? Atau dia malah bakal ngelupain aku? Sekali lagi tidak ada pernyataan terakhir dari Mas Bona. Dan malam yang dingin itu pun menjadi saksi perpisahan kami.

REGA, THE OTHER GUY
Rega adalah juniorku di La Salle. Lebih tepatnya dia adalah sepupu Keke. Keke yang mengenalkan kami berdua. Keke kasihan melihatku tenggelam dalam kesedihan ditinggal Mas Bona. Siapa sangka Mas Bona ternyata nggak punya perasaan apa-apa sama aku. Begitu dia pulang ke Bandung malam itu, tidak ada kabar darinya lagi. Mas Bona bagai hilang ditelan bumi, nomor HP nya bahkan sudah nggak aktif. Lalu apa maksud perbuatannya malam itu? Memberi aku kalung, kemudian memelukku dan mencium keningku, kalo ternyata dia nggak punya perasaan apa-apa?! 
Selama 3 bulan aku terpuruk dalam kesedihan, sampai akhirnya aku bertemu Rega. Rega membawa keceriaan baru untukku, sikapnya yang easygoing dan sifat humble-nya mengingatkan aku sama Mas Bona. Itu sebabnya aku dapat dengan mudah tertarik padanya. Aku emang bersalah sama Rega karena menjadikannya tempat pelarianku. Dan ketika aku jujur sama Rega, dia tetap menerima aku apa adanya. Itulah yang menyebabkan aku tetap bersama Rega sampai sekarang. Aku bahagia bersama Rega, dia benar-benar mengisi kekosongan dalam hatiku. Aku bertekad memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tidak mau membuat Rega kecewa lagi. Tidak ada lagi Mas Bona.

EPILOGUE - PERTEMUAN KEMBALI

“Kak Abelle, selamat ya atas kelulusan kakak,” kata Sally, juniorku yang berbeda jurusan.
“Makasih ya, Sal. Kamu juga cepetan lulus, biar kita bisa cepet bikin bisnis bareng.”
“Iya, Kak. Oya, besok aku mau weekend di Bandung. Kak Abelle mau ikutan?”
“Nggak deh, kayanya besok aku ada makan-makan sama keluarga. Sori ya, Sal. I wish I could go. Tumben kamu weekend di Bandung. Nggak malem mingguan sama Jonas?”
“Nggak, Kak. Besok aku mau ikutan workshop di Unpad. Tahun kemarin kakak ikutan juga kan?”
“Workshop desain? Siapa mentornya?”
“Iya. Ehm, siapa ya, Andrew, Monica, dan Bona deh kalo nggak salah.”
“Bona… Kamu yakin, Sal?”
“Iya, Kak. Kakak baca aja di Kompas. Ada beritanya kok.”
Pikiranku melayang-layang kembali ke masa lalu. Ini dia yang selama ini aku tunggu-tunggu. Bona… Akhirnya aku denger juga tentang dia. Aku nggak mungkin ngelepasin kesempatan ini. Aku pun mengajak Keke ke Bandung malam ini. Keke marah-marah setelah mengetahui maksud ajakanku. Tapi akhirnya ia luluh juga dan bersedia menemaniku. Sebelum berangkat, aku menemui Rega dan menjelaskan semuanya. Rega nggak kalah marahnya kaya Keke. Tapi ini tidak akan menghentikanku. Tekadku udah bulat. Aku harus ketemu Bona. Kali ini aku nggak akan menyembunyikannya lagi. Aku akan langsung menyatakan perasaanku. Aku nggak mau sesak ini terus tertahan di dadaku. Aku harus mengungkapkannya. Harus.
Aku memasuki ruang wokshop layaknya dejavu. Tapi tidak kulihat sosok Bona di sana. Akhirnya aku pun bertemu dengan Pak Andrew. Kebetulan saat ini sedang istirahat makan siang, jadi Pak Andrew bersedia menemuiku.
“Siang, Pak. Sudah lama tidak bertemu,” kataku seraya menjabat tangan Pak Andrew. 
“Abelle ya? Apa kabar? Kerja di mana sekarang?”
“Baik, Pak. Saya baru aja lulus. Sementara saya freelance aja, Pak. Pak, apa Bona ada di sini?”
“Bel, kebetulan Bona lagi keluar makan siang. Kalau kamu mau, kamu bisa menunggu di sini. Oya” – Pak Andrew menghela napas panjang – “tidak apa-apa,” lanjutnya.
“Oh, nggak masalah, Pak. Saya tunggu di sini saja.” Selama menunggu, jantungku benar-benar berdegup kencang. Aku bingung harus bicara apa sama Bona. Tidak lupa kupakai kalung pemberiannya. 
Akhirnya aku melihat Bona. Tetap tampan seperti pertama kali aku melihatnya, tetap berkharisma. Jantungku berdegup semakin keras. ‘He’s my soulmate, sori Ga’, kataku dalam hati. Tanpa ragu aku menghampirinya dan memeluknya. Tapi tidak ada reaksi darinya. Malahan aku ditarik dengan kasar oleh tangan wanita di sampingnya.
“Eh, apa-apaan kamu?!” teriak wanita ini.
“Kamu siapa? Kasar banget sih!”
“Kamu yang siapa, main peluk-peluk tunangan orang!” Apa?!?! Tunangan?! Tubuhku serasa disambar petir. Hatiku sakit melebihi sakitnya ditinggal Bona. Jadi ini alasan Bona ninggalin aku. Karena dia udah punya tunangan?
“Aku Abelle! Kamu tunangan Bona?! Nggak mungkin…” Tiba-tiba tangannya mendarat di pipiku. Sakit memang, tapi tidak lebih sakit daripada melihat Bona yang diam tidak bergeming. Membela tunangannya aja nggak. “Eh, apa-apaan kamu?” teriakku. Pak Andrew yang mendengar pertengkaran kami keluar dari ruangannya dan berusaha memisahkan kami.
“Oh, jadi kamu! Ngapain kamu ke sini?! Bisa-bisanya kamu nemuin Bona lagi setelah kamu nyelakain dia! Pergi kamu!” 
“Eh, jangan seenaknya ya! Aku mau ketemu Bona, aku nggak akan pergi sebelum bicara sama dia!”
“Sori” – akhirnya Bona berbicara – “tapi kamu siapa?” Aku mulai merasakan sesuatu yang nggak beres dalam nada suaranya. Kenapa Bona nggak tahu siapa aku?
“Mas Bona, ini aku, Abelle. Partner kerja, Mas.”
“Sori, tapi aku nggak kenal kamu.”
Aku diam, tak bergeming. Pandanganku kosong menatap ke depan, ke mata Mas Bona. Tanpa kusadari, pelupuk mataku sudah penuh dengan air mata yang siap meluncur kapan saja. Aku menangis terisak-isak di pelukan Keke. Cukup lama sampai aku bisa tenang. Akhirnya Pak Andrew menjelaskan semuanya. Kalau ternyata Bona mengalami kecelakaan dalam perjalanannya ke Jakarta, tepat di hari ulang tahunku yang ke-22, dua hari setelah malam itu. Lalu Bona mengalami amnesia sampai sekarang. Aku diam, kemudian menangis lagi. Kali ini tangisanku lebih keras. Hatiku hancur, semua angan-anganku hilang tak tersisa. 
“Bona…” – kata-kataku tenggelam dalam isak tangisku. Suaraku tidak bisa keluar. Aku hanya mengulurkan tangan untuk mengembalikan kalung pemberiannya.
Bona menepis tanganku. “Kamu simpen aja. Anggap aja kenangan dari aku. Maaf ya.”
‘Maaf’, adalah kata terakhir dari Bona. Kalung pemberian Bona kusimpan di bagian laci yang paling dalam, sama seperti aku mengubur kenangan tentang Bona dalam-dalam. 


___________________________________________________________________

Kyahahaha... Maluu.. Bukan cerita pertamaku sih.. There r so much another stories i've written.. Tapi menurutku ini yg paling ga garing dan selesai dengan sempurna.. Yg laen pasti putus di tengah jalan.. 

Leave a comment ya.... =D