Sunday, January 17, 2010

GOODBYE

*Bianca*

“Cha, kamu dijodohin sama dia ya?” tanya Rendi sambil menunjuk sosok pria berkacamata di seberang.

“Ngomong apa sih, yank? Aku kan udah bilang aku ga dijodohin sama kak dio.”

“Tapi Litha yakin banget kok liat kamu jalan sama dia,” serobot Rendi ga sabaran.

“Dia punya nama, sayang. Kak Dio. Aku emang dinner tapi kan sama papa juga. Udah deh, stop pikiran aneh aneh kamu itu. Aku laper yank, ke Pancious yuk..”

Rendi adalah pacarku. Kita udah pacaran dari kelas 1. Kalau kata orang-orang, kami ibarat pasangan yang udah nggak terpisahkan, ibaratnya tinggal tunggu waktu yang tepat buat nikah. Tapi, apakah waktu itu akan menungguku? Atau malah akan mendahuluiku?

“Dor! Sayang, lagi mikirin apa?” tanya Rendi mengagetkanku.

“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku masih terbata-bata.

“Sayang, besok siang ikut aku ke rumah ya? Ada acara sebulanan si Nayla. Mama pengen ketemu kamu.”

“Aku nggak bisa, yank. Sorry ya. Aku udah ada janji sama papa.”

“Yah sayang, ayo donk. Kan udah lama kamu nggak main ke rumah.”

Rendi emank paling bisa ngerayu kaya gini. Bikin aku goyah. Dia adalah sosok yang sangat hangat. Ironis, tapi itu cuma berlaku untukku saja. Di depan orang lain, Rendi adalah sosok orang yang dingin dan cuek. Salah ngomong sedikit bisa langsung kena semprot sama dia. Hanya pada orang-orang terdekatnya Rendi menunjukkan sosok aslinya. Hal ini terjadi karena Rendi pernah disiksa selama 8 tahun sama ayahnya. Ketika Rendi hampir mati, barulah mama Rendi sadar dan menceraikan ayahnya. Saat ini ayahnya mendekam di penjara di luar kota. Cinta itu memang buta yah...

“Maaf yank, nggak bisa. Lain kali aku pasti ikut deh,” kataku tersenyum.

*Rendi*

“Rendi!! Kamu ngapain masi disini?! Jangan main main HP melulu!”

“Iya iya, Mam.. Rendi berangkat sekarang.”

Mama nih bawel banget. Cuma gara-gara cake aja sampai nyuruh anaknya yang ganteng ini panas-panasan. Untung gue juga penggemar Tiramissu cake cafe mungil. Kalo nggak, gak rela gue jauh2 gini ke daerah Malaka. Tiramissu cake selalu jadi favorit keluarga gue. Setiap ada acara khusus pasti kita selalu pesan cake di sini.

‘Loh, itu kan Chacha. Kok sama si Dio!’ tanyaku dalam hati. ‘Chacha ga mungkin bohongin gue kan? Dia bilang ada janji sama bokapnya.’ Hati gue mulai bergolak gak karuan. Selama pacaran sama Chacha, sekalipun dia belum pernah nutupin sesuatu kayak gini. ‘Loh, kok Chacha nangis?! Diapain dia sama si Dio?!’

“Chacha!” teriak gue. Chacha langsung cepet-cepet ngehapus air matanya. Dia kayaknya kaget banget ngeliat gue.

“Rendi, kok kamu ada disini?”

“Ikut gue!” Gue tarik Chacha dari mejanya. Gue bawa dia ke parkiran.

“Rendi, stop it!” akhirnya Chacha ngeluarin suara juga. “Aku mau balik ke sana.”

“Kamu bilang kamu janjian sama Papa. Kamu ada masalah apa sih Cha sampai bohong sama aku?! Dan kenapa harus sama si Dio itu lagi!” Sialan, gue paling nggak mau dicap cowok cemburuan gini. Tapi si Dio udah bikin Chacha nangis. Gimana gue nggak marah.

“Aku... Aku akan jelasin nanti ke kamu. Yah? Sekarang aku harus balik ke sana.” Chacha ngelepasin genggaman tangan gue.

*Rendi*

“Maaf.” Chacha menangis tersedu-sedu.

“Kenapa sih, Cha? Kenapa nggak bilang dari dulu!” teriak gue marah.

“Sorry Ren. Ini keinginan papa. Aku nggak bisa nolak. Ini juga terlalu mendadak buat aku.” Chacha berusaha memegang tangan gue tapi gue menyentakkannya. Gue nggak bisa terima keputusan Chacha yang tiba-tiba mau ke luar negeri. Padahal ujian kelulusan sekolah tinggal sebentar lagi. Bahkan dia nggak bilang sama gue negara mana yang bakal jadi tujuannya!

“Rendi...”

“Cha, aku gakpapa kamu diemin, gakpapa kamu ngambek. Tapi kalo kamu nutupin sesuatu dari aku, bohong sama aku, sama aja kamu nyiksa aku, Cha! Bodoh banget ya aku.” Gue mulai frustasi sama keadaan ini. Gue teriak teriak nggak karuan. Barang-barang di meja gue lemparin.

“Rendi! Aku tetep sayang sama kamu. Nggak akan ada yang berubah. Aku janji gak akan ada yang berubah, Ren. Cuma aku... Aku nggak bisa berhubungan lagi sama kamu. Kamu bakal sakit kalo kita nerusin ini.”

“Cha, it’s okey kalo kamu mau nikah sama Dio. Gakpapa aku jadi simpenan kamu. Asal kamu nggak pergi dari aku.” Gue mulai nangis. Kayaknya udah lama banget gue nggak nangis. Gue udah mati rasa sama yang namanya air mata. Gue peluk Chacha. Gue cium Chacha. Gue nggak bisa nggak ada dia. Gue udah nyerahin segalanya sama Chacha. Gue nggak bisa kehilangan dia. Gue tau itu. Chacha juga tau itu. Ciuman ini jadi lebih sakit dari biasa dia gigit gue. Lebih sakit dari siksaan bokap gue. Rasa asin air mata kami melebur ke dalamnya. Apa nggak ada yang bisa gue lakuin buat ngerubah keputusan Chacha?!

Setelah hari itu, Chacha bagai hilang ditelan bumi. Nomornya nggak aktif. Rumahnya kosong. Chacha juga sudah mengundurkan diri dari sekolah. Gue? Gue kembali ke masa penyiksaan. Gue harap Chacha bisa bahagia sama pilihannya.

*Bianca*

“Kak Dio, makasih banget!” kataku menangis. Tapi ini adalah tangisan bahagia. Aku memeluk Kak Dio.

“Cha, kalau kamu balik kesana, kamu harus jelasin sama Rendi. Kakak tau gimana menderitanya kamu selama disini. Kamu udah tumbuh jadi gadis yang kuat, Cha.”

Aku mengangguk. Kemudian papa masuk ke ruangan ini, memeluk Kak Dio sambil menangis juga. Paling nggak dengan begini aku udah ngebahagiain Papa. Aku yakin udah berbuat sesuatu yang benar. Aku nggak bisa ninggalin Papa yang selama ini ngerawat aku sendirian. Papa terlalu baik dan berharga buat aku.

“Bian... Papa...” papa memeluk aku dan menangis.

“Pa, udah jangan nangis lagi. Papa lihat kan, Bian sekarang udah sembuh, Pa. Papa gak perlu takut lagi.”

“Papa bangga sama kamu, Nak. Kamu kuat. Papa sekarang lega kalo kamu mau hidup sendiri. Papa dukung kamu, Bian.”

Hari ini adalah hari kepulanganku dari Amerika. Sudah lebih dari 3 tahun aku menjalani hidup disini. Di Wellchester Hospital lebih tepatnya. Aku menjalani operasi serta perawatan dan pemulihan untuk penyakit Alzheimer yang sudah aku derita sejak akhir kelas 1 SMA. Semakin lama penyakit ini semakin menggerogoti ingatanku. Kak Dio adalah lulusan sekolah kedokteran Amerika. Dia yang merekomendasikan aku buat berobat di sini. Kata Kak Dio, peluang sembuhku masih sangat besar kalau aku cepat diobati. Ternyata perkataan Kak Dio benar. Dan aku sangat sangat bahagia. Aku nggak mungkin ngecewain Papa. Papa ditinggal sama Mama ketika aku berumur 1 tahun. Mama meninggal karena penyakit Alzheimer juga. Bagaimana mungkin aku tega memberikan Papa cobaan yang sama kedua kalinya?

Bau kota ini masih sama seperti ketika kutinggalkan dulu. Ada beberapa bangunan baru. Rendi apa kabar ya? Selama aku di Amerika, aku nggak pernah kontak sama dia. Aku merahasiakan segala sesuatu. Aku takut operasiku gagal dan pada akhirnya aku harus meninggalkan dia, itulah sebabnya aku nggak pernah cerita apapun sama dia. Aku tahu Rendi paling takut kehilangan aku.

Tujuan pertamaku tentu saja menikmati Tiramissu cake di cafe mungil. Dan berharap aku bisa bertemu Rendi. Apa Rendi masih marah sama aku karena kepergianku yang tanpa jejak itu?

“Chacha? Chacha kan?”

Aku mendongak ke arah suara itu. “Tante!? Apa kabar?” jawabku sumringah. Ternyata Mamanya Rendi. Sebuah kebetulan yang sangat mengejutkan. Lalu kami pun berbincang-bincang. Rendi saat ini kuliah di luar kota. Universitas Cascade, tempat kami berdua berencana melanjutkan studi. Saat ini pasti Rendi sudah mau lulus kuliah. Tante bahkan memberikan aku alamat tempat tinggal Rendi disana.

*Rendi*

“Mama yang bener deh?! Ngapain mama ngasih nomor Rendi ke Chacha?!” sergah gue marah di telepon. Mama gue mikir apaan sih!

“Yah, kan mama pikir kamu mau ketemuan sama dia. Chacha berubah lho Ren, tambah cantik, rambutnya pendek. Chacha nggak punya tempat tinggal, Ren. Mama sampe tawarin dia tinggal di rumah loh, tapi ternyata dia tinggal di hotel.”

“Ma, mama tau kan gimana Rendi berusaha ngelupain dia?”

“Tapi Chacha tuh nggak nikah Ren. Dia masih single kok.”

“Rendi nggak peduli dia udah nikah atau punya anak, Ma.”

“Yah terserah kamu deh, Ren. Siap siap aja kalo Chacha dateng ke sana.” Mama tertawa-tawa menggodaku.

Gue nggak habis pikir. Ngapain Chacha balik ke sini?! Setelah dia ninggalin gue gitu aja, tanpa penjelasan. Gue udah berusaha bangun kehidupan gue dari awal lagi.

Bel pintu apartemen gue bunyi. Nggak mungkin Chacha kan? Gue udah SMS dia buat nggak nemuin gue lagi. Gue juga nggak pernah angkat teleponnya. Masa iya Chacha berani kesini. Gue buka pintu apartemen gue dan benar lah Chacha yang muncul dibalik pintu itu.

“Hello Ren!” sapa Chacha dengan senyum termanisnya. Damn, senyum itu, gue inget banget senyum itu cuma buat gue.

“Aku udah bilang kamu nggak usah kesini!” sergah gue kasar.

“Ren, aku tau kamu masih marah dan nggak bisa terima keputusan aku dulu.”

“Cha, aku udah bilang nggak usah bahas yang dulu-dulu.”

“Tapi aku kesini karena mau ngejelasin itu, Ren.” Lagi-lagi Chacha berusaha mengambil tanganku, persis seperti dulu. Dan seperti dulu juga kusingkirkan tangannya dengan kasar.

“Aku nggak butuh penjelasan, Cha. Kamu udah milih pergi. Udah milih ninggalin aku. Dan sejak saat itu pula aku udah putusin aku nggak akan kembali sama kamu, Cha. Aku sakit, Cha. Kamu nggak tahu betapa susahnya bangun kehidupanku dari awal lagi.”

“Ren, tapi kamu nggak tahu sebenernya yang terjadi tu apa,” jawab Chacha terbata-bata. Chacha mulai menangis. Sial, gue paling nggak tega liat dia nangis.

“Cha, pergi. Pergi dari sini!” sergahku marah. Gue buka pintu, gue dorong Chacha keluar. Gue banting pintu apartemen gue.

“Ren, kenapa sih kamu ga bisa denger Chacha bentar aja! Nggak ada yang berubah, Ren! Perasaan Chacha tetep sama!”

Chacha berteriak teriak dari balik pintu. Perasaan gue sakit, gue nggak mau Chacha sedih kayak gitu. Tapi dia udah pilih jalannya sendiri. Dan gue juga udah berada di jalan gue sendiri. Gue nggak mau kembali ke jalan yang sama kayak dulu. Gue tutup kuping gue. Tapi suara Chacha tetep terdengar.

“Chacha selalu sayang sama kamu, Ren. Chacha nggak pernah ngelupain kamu. Chacha juga berusaha hidup buat kamu, Ren. Chacha nggak akan pernah ninggalin kamu, Ren. Rendi...”

Gue diem. Chacha menangis. Ironis.

Yang gue tahu akhirnya Chacha balik lagi ke Amerika. Gue putusin buat nggak ngubur hal-hal tentang Chacha, biar bagaimanapun kenangan manis gue semua adalah karena Chacha. Dia yang udah ngobatin luka hati gue karena disiksa bokap. Dan gue, menjalani kehidupan gue juga disini, dengan susah payah tapi pasti. Gue mulai menapak ke babak awal kehidupan baru gue.

*FIN*

_____________________________________________

Satu lagi short story dari saya!!hahahaha.. inspired by a song, named Goodbye, from Jang Geun Seok.. entah kenapa setiap denger lagu itu bawaanya sedih doank.. jadi menghayati.. haha..

Enjoy!! :D

 

XOXO,

S

No comments: