Thursday, March 5, 2009

Sedikit cerita... Belom ada judul...

PROLOGUE
“Sori, Ga, ternyata aku nggak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi”.
“Tapi kenapa, Bel? Kita kan nggak ada masalah apa-apa, kenapa tiba-tiba kamu mau mutusin aku?”
“Ga, ada hal-hal yang nggak bisa aku jelasin sama kamu. It’s complicated”. Akhirnya kata itu terucap juga. Sebenarnya Rega adalah seorang cowok yang sangat baik sama aku, dia sayang aku, dia perhatian, dan dia nggak macem-macem, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah dia bukan soulmate aku.

SOMEDAY ON JAKARTA
“Bel, jadi kan ikutan workshop desain di Bandung minggu depan?” tanya Keke temanku. Keke dan aku sama-sama kuliah di La Salle College jurusan desain grafis. Kebetulan aku dan dia lagi bikin skripsi, jadi kami berencana ikutan workshop desain di Bandung buat nambah-nambah bahan skripsi. 
“Pasti lah, Ke. Gue udah nggak sabar banget pengen tahu pengajar kita, katanya tipe yang cowok banget, keren lagi”.
“Dasar loe ya, Bel, skripsi kita tuh udah deadline banget. Bisa-bisanya loe malah mikirin si Pak Bona”.
“Terserah gue dong, pokoknya besok gue harus kenalan sama Pak Bona. Harus.”

WEEKEND ON BANDUNG
Workshop desain di Bandung berlangsung 2 hari. Tepatnya berlangsung di Universitas Padjajaran. Ternyata banyak juga peminat workshop ini, ada 80 peserta dari seluruh Indonesia yang berkumpul di sini. Hari pertama, kita bener-bener dikasih pelatihan dari para ahli desain tentang gimana cara desain yang baik, yang sesuai tema, yang komposisi warna serta tulisannya enak dipandang mata, dan lain-lain. Baru di hari kedua, ada kompetisi desain buat seluruh peserta workshop. Disana, kita akan diberi tema khusus oleh juri kemudian kita bikin desain mengenai tema itu seunik mungkin.
Aku excited banget buat ngikutin workshop ini, terutama karena ada Pak Bona. Mas Bona mungkin lebih tepatnya, karena ternyata dia baru berumur 29 tahun. Dia bukan cowok tipikal aku sih, tapi kharismanya bener-bener bikin aku meleleh. Bikin aku nggak konsen selama workshop. Omigod, kenapa ada pria selembut dan setampan dia? Cara bicaranya aja udah bikin aku meleleh. Ditambah lagi ngelihat bahunya yang bidang, badan yang kekar dalam balutan jas dan celana jeansnya, ‘you’re my life Mr.Bona’, kataku dalam hati. 
“Bel, loe dipanggil tuh sama Pak Bona”, panggil Keke membuyarkan lamunanku yang nggak penting.
“Eh, apa Ke?”
“Loe dipanggil sama Pak Bona. Hellooow, denger nggak sih?”
“Eh, apa?! Gue dipanggil?” kataku setengah berbisik. “Saya, Pak?” jawabku sambil mengangkat tangan.
“Ya kamu. Marceline Anabelle. Bisa sebutkan filosofi desain menurut Anda?”
“Uhm, design is flexible, I think.”
“Jawaban bagus,” kata Pak Bona sambil tersenyum. Aduh, kenapa sih dia harus senyum kaya gitu, bikin jantungku tambah jungkir balik. “Oke temen-temen, sekian workshop hari ini, tema untuk kompetisi besok bisa kalian lihat di papan pengumuman di depan. Silahkan persiapkan diri sebaik mungkin. Selamat sore.” 
“Bel, loe gila ya? Loe dari tadi mikirin apa sih ngeliatin dia terus?”
“Aduh, Ke. Gue juga nggak ngerti kenapa, gue nggak bisa ngalihin pandangan dari dia.”
“Bel, loe belom tau siapa dia, don’t put too much expectations lah.”
Malam minggu di Bandung seru banget, belum lagi pemandangan di Dago atas yang indah banget, dan yang pasti dingin. Aku dan temen-temen workshop yang satu hotel akhirnya pergi makan di Sierra. Ternyata bukan Cuma aku aja yang mengagumi Mas Bona. Kenapa sih harus Mas Bona lagi, harusnya aku menikmati malem ini sebagai happy single woman, tapi kenapa semua cowok harus berwajah kaya Mas Bona sih?! Bener-bener nggak masuk akal.
“Eh, kalian udah nentuin mau bikin apa besok?” tanya Rena teman baruku. “Gue denger gosip nih, katanya selain dapet uang dan piagam, pemenang kompetisi besok bakal kerja bareng sama Pak Bona.”
“Ah, serius loe?” kataku tertarik.
“Iya, katanya Pak Bona lagi ada job besar dan dia lagi butuh asisten. Jadi lah pemenang kompetisi besok bakal dia jadiin partnernya.”
Aku yang sebelumnya kurang tertarik sama kompetisi besok tiba-tiba berambisi buat menang. Serius, kerja bareng Mas Bona, which is aku bakal kenal sama dia. Dan pasti bakal sering ketemu sama dia. Orang bodoh mana yang akan melewatkan kesempatan ini?
Keesokan paginya, aku bangun sepagi mungkin. Kupakai pakaian favoritku, blouse putih tanpa lengan dengan detail ruffle di bagian lengannya, dipadu dengan celana 7/8 warna hitam, plus flat shoes warna senada. “Okey, perfect”, kataku dalam hati. Kompetisi desain dimulai pukul 8. Tema yang diambil adalah eclipse. Otakku berputar cepat. Kuputuskan untuk menggambar wanita yang sedang memegang bulan di tangannya. Wanita itu meneteskan air mata. Eclipse is about between two things. Inti gambarku sendiri sih sebenernya mengenai pilihan. 
Jam makan siang menandakan berakhirnya kompetisi ini. Para pengajar berkumpul sementara kami makan. Jantungku dag, dig, dug, nggak karuan. Berharap. Cemas. Semua campur aduk jadi satu. Kurang lebih 40 menit kemudian Pak Andrew keluar dari ruang rapat dan menyuruh kami untuk kembali berkumpul di ruang workshop. 
“Setelah melihat karya temen-temen, akhirya kami memilih tiga yang terbaik. Terus terang, temen-temen di sini benar-benar sangat berbakat dan sangat sulit memilih yang terbaik dari yang terbaik. Ketiga pemenang ini akan menerima uang tunai serta piagam, namun hanya satu pemenang saja yang akan mendapat hadiah khusus, yaitu bekerja sama dengan Pak Bona,” kata Pak Andrew menjelaskan. “Okey, langsung saja, untuk dua pemenang terbaik adalah” – Pak Andrew menghela napas – “Virgo Nugraha dan Bobbi Prasetya”.
God, last chance. Wish me luck.
“Dan yang mendapat kesempatan bekerja sama dengan Pak Bona adalah Marceline Anabelle. Selamat.” 
Hah?? Marceline Anabelle? Aku? Nggak ada Abelle yang lain kan? Is it real?? 
“Bel, loe tuh. Maju sana!” perintah Keke.
Okey, kali ini aku bener-bener yakin kalo itu aku. Aku pun maju ke depan. Pak Andrew mengucapkan selamat dan menjabat tanganku, diikuti Mas Randi, kemudian Mas Bona. 
“Selamat ya, saya nggak sabar bekerja sama dengan kamu.” Kata-kata Mas Bona menusuk ke dalam hatiku, perasaanku meluap-luap, bahagia. “Saya juga, Mas”, gumamku.

BUSY WEEKS WITH MR. BONA
Teleponku berdering dari bawah bantal. Aduh, ganggu tidurku aja sih. Siapa juga yang pagi-pagi gini telepon? Gila ya??! “Halo?!” kuangkat telepon dengan suara lemah dan bersungut-sungut.
“Halo, Abelle? Ini Bona.” Aku terkejut mendengar suara lembut di seberang telepon. Suaranya kaya suara Mas Bona. Tunggu, Bona yang mana dulu nih. Seingatku, nggak ada temanku yang namanya Bona. Masa beneran Mas Bona sih?
“Iya. Ini Mas Bona Aditya?” tanyaku tergagap.
“Iya, ini saya. Bel, saya lagi jalan ke Jakarta nih. Saya mau ketemu kamu, bisa?”
“Bisa Mas Bona. Di mana dan jam berapa?”
“Kita ketemu di Senayan City aja ya, kurang lebih 2 jam lagi saya tiba di sana. Saya mau membahas mengenai project kita.”
“Oke, Mas.” Omigod, Mas Bona mau ketemu aku. Ketemu aku! Dan dia bilang project ‘kita’. Kita?! Aku langsung melompat dari kasurku dan bergegas ke kamar mandi. Dandan. Aku nggak mau telat untuk pertemuan pertamaku sama Mas Bona. Secepat kilat aku memacu mobil ke Senayan City. Dan aku pun memasuki Burger King, tempat kita janjian.
“Abelle?” panggil suara di sampingku. Ternyata, itu Mas Bona. Tampil casual dengan kaos lengan panjang serta celana khaki-nya, dipadu dengan sneakers putih. Okey, kutarik kembali ucapanku mengenai dia bukan tipe cowokku. Ini sih more than perfect. Aku terpaku memandangnya, sampai ia memanggilku untuk yang kedua kalinya. Malu banget.
“Maaf Mas Bona, udah lama nunggunya?”
“Nggak. Aku yang kepagian, ternyata jalanan nggak begitu macet. Oya, Bel, panggil Bona aja.”
“Oke, Mas. Bona maksudnya.”
Selama satu setengah bulan Mas Bona bolak-balik Bandung-Jakarta. Dan selama itu pula frekuensi pertemuanku sama dia nggak pernah berhenti. Pernah juga dia nginep di Jakarta selama seminggu. Kami mengerjakan project itu 24/7. Itu artinya, waktuku buat mengenalnya bener-bener banyak. Aku mengaguminya melebihi yang kukira, bahkan timbul rasa yang melebihi rasa kagum dalam hatiku. Cinta. Ya, aku rasa aku mencintainya. Kepribadiannya yang hangat membuatku merasa sangat nyaman di dekatnya. Perbedaan umur 7 tahun pun tidak berarti buatku. Mas Bona benar-benar pandai membawa diri. Dia juga sangat perhatian sama aku. Tiga kali sehari dia telepon, Cuma buat ngingetin aku untuk makan. Mas Bona, ini semua melebihi harapanku. Tahukah kamu kalo aku memiliki perasaan yang lebih? Kalo ini semua dilanjutin, aku takut nggak akan bisa menyembunyikannya lagi. 
Sampai akhirnya project yang kami bikin bersama diterima dengan baik dan berhasil memuaskan hati perusahaan itu. Mas Bona mengajak aku makan malam di Sky Café. Suasana restoran itu luar biasa romantis, makan malam di lantai paling atas sebuah hotel, tanpa atap, hanya lilin-lilin yang menemani. Dengan Mas Bona di hadapanku, rasanya aku tidak ingin malam ini berakhir. Di sana Mas Bona memberikanku sebuah hadiah. Kalung emas putih, dengan liontin berbentuk hati. Apa maksud semua ini? Apa Mas Bona juga memiliki perasaan yang sama? Aku nggak berani bertanya, dan Mas Bona juga tidak mengatakan apa-apa. Yang aku ingat malam itu adalah Mas Bona mengantar aku pulang, dan sepanjang perjalanan ia menggenggam tanganku, erat dan hangat. Kami mencair dalam kebisuan, hanya sesekali bercanda. Ini kali pertama Mas Bona begitu hening, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Terakhir, ia memelukku erat dan mencium keningku. Aku tidak ingin melepaskan pelukannya. Aku tahu mungkin aku nggak akan ketemu Mas Bona lagi setelah dia pulang ke Bandung. Sungguh sulit berada jauh dari Mas Bona. Apakah setelah dia pulang ke Bandung, dia masih mau telepon aku setiap hari Cuma buat ngingetin aku untuk makan? Atau dia malah bakal ngelupain aku? Sekali lagi tidak ada pernyataan terakhir dari Mas Bona. Dan malam yang dingin itu pun menjadi saksi perpisahan kami.

REGA, THE OTHER GUY
Rega adalah juniorku di La Salle. Lebih tepatnya dia adalah sepupu Keke. Keke yang mengenalkan kami berdua. Keke kasihan melihatku tenggelam dalam kesedihan ditinggal Mas Bona. Siapa sangka Mas Bona ternyata nggak punya perasaan apa-apa sama aku. Begitu dia pulang ke Bandung malam itu, tidak ada kabar darinya lagi. Mas Bona bagai hilang ditelan bumi, nomor HP nya bahkan sudah nggak aktif. Lalu apa maksud perbuatannya malam itu? Memberi aku kalung, kemudian memelukku dan mencium keningku, kalo ternyata dia nggak punya perasaan apa-apa?! 
Selama 3 bulan aku terpuruk dalam kesedihan, sampai akhirnya aku bertemu Rega. Rega membawa keceriaan baru untukku, sikapnya yang easygoing dan sifat humble-nya mengingatkan aku sama Mas Bona. Itu sebabnya aku dapat dengan mudah tertarik padanya. Aku emang bersalah sama Rega karena menjadikannya tempat pelarianku. Dan ketika aku jujur sama Rega, dia tetap menerima aku apa adanya. Itulah yang menyebabkan aku tetap bersama Rega sampai sekarang. Aku bahagia bersama Rega, dia benar-benar mengisi kekosongan dalam hatiku. Aku bertekad memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tidak mau membuat Rega kecewa lagi. Tidak ada lagi Mas Bona.

EPILOGUE - PERTEMUAN KEMBALI

“Kak Abelle, selamat ya atas kelulusan kakak,” kata Sally, juniorku yang berbeda jurusan.
“Makasih ya, Sal. Kamu juga cepetan lulus, biar kita bisa cepet bikin bisnis bareng.”
“Iya, Kak. Oya, besok aku mau weekend di Bandung. Kak Abelle mau ikutan?”
“Nggak deh, kayanya besok aku ada makan-makan sama keluarga. Sori ya, Sal. I wish I could go. Tumben kamu weekend di Bandung. Nggak malem mingguan sama Jonas?”
“Nggak, Kak. Besok aku mau ikutan workshop di Unpad. Tahun kemarin kakak ikutan juga kan?”
“Workshop desain? Siapa mentornya?”
“Iya. Ehm, siapa ya, Andrew, Monica, dan Bona deh kalo nggak salah.”
“Bona… Kamu yakin, Sal?”
“Iya, Kak. Kakak baca aja di Kompas. Ada beritanya kok.”
Pikiranku melayang-layang kembali ke masa lalu. Ini dia yang selama ini aku tunggu-tunggu. Bona… Akhirnya aku denger juga tentang dia. Aku nggak mungkin ngelepasin kesempatan ini. Aku pun mengajak Keke ke Bandung malam ini. Keke marah-marah setelah mengetahui maksud ajakanku. Tapi akhirnya ia luluh juga dan bersedia menemaniku. Sebelum berangkat, aku menemui Rega dan menjelaskan semuanya. Rega nggak kalah marahnya kaya Keke. Tapi ini tidak akan menghentikanku. Tekadku udah bulat. Aku harus ketemu Bona. Kali ini aku nggak akan menyembunyikannya lagi. Aku akan langsung menyatakan perasaanku. Aku nggak mau sesak ini terus tertahan di dadaku. Aku harus mengungkapkannya. Harus.
Aku memasuki ruang wokshop layaknya dejavu. Tapi tidak kulihat sosok Bona di sana. Akhirnya aku pun bertemu dengan Pak Andrew. Kebetulan saat ini sedang istirahat makan siang, jadi Pak Andrew bersedia menemuiku.
“Siang, Pak. Sudah lama tidak bertemu,” kataku seraya menjabat tangan Pak Andrew. 
“Abelle ya? Apa kabar? Kerja di mana sekarang?”
“Baik, Pak. Saya baru aja lulus. Sementara saya freelance aja, Pak. Pak, apa Bona ada di sini?”
“Bel, kebetulan Bona lagi keluar makan siang. Kalau kamu mau, kamu bisa menunggu di sini. Oya” – Pak Andrew menghela napas panjang – “tidak apa-apa,” lanjutnya.
“Oh, nggak masalah, Pak. Saya tunggu di sini saja.” Selama menunggu, jantungku benar-benar berdegup kencang. Aku bingung harus bicara apa sama Bona. Tidak lupa kupakai kalung pemberiannya. 
Akhirnya aku melihat Bona. Tetap tampan seperti pertama kali aku melihatnya, tetap berkharisma. Jantungku berdegup semakin keras. ‘He’s my soulmate, sori Ga’, kataku dalam hati. Tanpa ragu aku menghampirinya dan memeluknya. Tapi tidak ada reaksi darinya. Malahan aku ditarik dengan kasar oleh tangan wanita di sampingnya.
“Eh, apa-apaan kamu?!” teriak wanita ini.
“Kamu siapa? Kasar banget sih!”
“Kamu yang siapa, main peluk-peluk tunangan orang!” Apa?!?! Tunangan?! Tubuhku serasa disambar petir. Hatiku sakit melebihi sakitnya ditinggal Bona. Jadi ini alasan Bona ninggalin aku. Karena dia udah punya tunangan?
“Aku Abelle! Kamu tunangan Bona?! Nggak mungkin…” Tiba-tiba tangannya mendarat di pipiku. Sakit memang, tapi tidak lebih sakit daripada melihat Bona yang diam tidak bergeming. Membela tunangannya aja nggak. “Eh, apa-apaan kamu?” teriakku. Pak Andrew yang mendengar pertengkaran kami keluar dari ruangannya dan berusaha memisahkan kami.
“Oh, jadi kamu! Ngapain kamu ke sini?! Bisa-bisanya kamu nemuin Bona lagi setelah kamu nyelakain dia! Pergi kamu!” 
“Eh, jangan seenaknya ya! Aku mau ketemu Bona, aku nggak akan pergi sebelum bicara sama dia!”
“Sori” – akhirnya Bona berbicara – “tapi kamu siapa?” Aku mulai merasakan sesuatu yang nggak beres dalam nada suaranya. Kenapa Bona nggak tahu siapa aku?
“Mas Bona, ini aku, Abelle. Partner kerja, Mas.”
“Sori, tapi aku nggak kenal kamu.”
Aku diam, tak bergeming. Pandanganku kosong menatap ke depan, ke mata Mas Bona. Tanpa kusadari, pelupuk mataku sudah penuh dengan air mata yang siap meluncur kapan saja. Aku menangis terisak-isak di pelukan Keke. Cukup lama sampai aku bisa tenang. Akhirnya Pak Andrew menjelaskan semuanya. Kalau ternyata Bona mengalami kecelakaan dalam perjalanannya ke Jakarta, tepat di hari ulang tahunku yang ke-22, dua hari setelah malam itu. Lalu Bona mengalami amnesia sampai sekarang. Aku diam, kemudian menangis lagi. Kali ini tangisanku lebih keras. Hatiku hancur, semua angan-anganku hilang tak tersisa. 
“Bona…” – kata-kataku tenggelam dalam isak tangisku. Suaraku tidak bisa keluar. Aku hanya mengulurkan tangan untuk mengembalikan kalung pemberiannya.
Bona menepis tanganku. “Kamu simpen aja. Anggap aja kenangan dari aku. Maaf ya.”
‘Maaf’, adalah kata terakhir dari Bona. Kalung pemberian Bona kusimpan di bagian laci yang paling dalam, sama seperti aku mengubur kenangan tentang Bona dalam-dalam. 


___________________________________________________________________

Kyahahaha... Maluu.. Bukan cerita pertamaku sih.. There r so much another stories i've written.. Tapi menurutku ini yg paling ga garing dan selesai dengan sempurna.. Yg laen pasti putus di tengah jalan.. 

Leave a comment ya.... =D

3 comments:

Dreamy Princess said...
This comment has been removed by the author.
Dreamy Princess said...

say, your prologue is really match with my story. ahahahhaa...

Susan Yoe said...

dreamy princess,
iya po joan? hahaha.. your real life story or???